Di Aceh, Menjadi penikmat ganja tak harus melintingnya dengan rokok putih. Disinilah letak kelihaian masyarakat Aceh meracik masakan dengan ganja sebagai penyedap rasa yang bercitarasa. Bisa dengan kopi Aceh, meracik dalam dodol Aceh, bumbu mie Aceh atau kari kambing Aceh. Mau...?
Tak satu jalan ke ROMA. Begitulah para penikmat ganja di Aceh mengistilahkannya. Karena itu jangan heran, setiap orang yang datang ke Aceh dan ingin menikmati lezatnya ganja, merupakan mengemasnya dalam berbagai bentuk. Bisa dicampurkan dalam adukan kopi, adoman dodol serta bumbu masakan seperti mie Aceh dan kari kambing.
Mereka mengaku, menikmati ganja Aceh dalam versi berbeda itu, saat mereka datang ke Aceh. “Saat meliput tsunami lalu, saya sempat menikmatinya dalam dodol dan kopi yang khusus saya pesan pada kawan-kawan di Aceh,” kata seorang rekan yang juga wartawan salah satu media nasional di Jakarta.
Pengakuan serupa juga datang dari seorang pegiat NGO/LSM. “Ketika saya bekerja di salah satu NGO asing di Aceh, hampir setiap malam saya minum kopi bercampur biji ganja. Lumayan, buat saya tahan begadang,” sebut rekan yang lain.
Secara historis, tanaman ganja pertama kali ditemukan di daratan Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina kuno telah mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan mariyuana untuk bahan tenun pakaian, obat-obatan, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.
Cannabis atau ganja juga dapat diolah untuk minyak lampu bahkan untuk upacara keagamaan seperti memuja dewa dan ritual kematian. Secara esensial, ganja di sana dianggap tumbuhan liar biasa layaknya rumput. Itu disebabkan, tanahnya memang cocok. Hanya saja, ganja tidak sembarang tumbuh di tanah yang tidak sesuai dengan kultur tanaman ini.
Ganja memerlukan karakter tanah dan faktor geografis tertentu, seperti di Cina, Thailand dan Aceh. Sementara di belahan bumi lainya seperti Eropa, Afrika dan Amerika, ganja juga dapat tumbuh, namun hasilnya tak memuaskan, kecuali harus dengan sentuhan teknologi canggih, itu pun sangat sulit diaplikasikan.
Julukan populis lain ganja adalah mariyuana, yang berasal dari bahasa Portugis yaitu mariguango yang berarti barang yang memabukkan dan untuk bahasa ilmiahnya disebut Cannabis. Istilah ganja dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir.
Ada beberapa versi mengenai sejarah ganja dibawa ke Aceh. Ada yang menyebutkan dari India pada akhir abad ke 19. Hadirnya ganja seiring datangnya pedagang Gujarat yang berniaga dan menetap di Aceh. Kabarnya, ganja tadi sebagai bumbu penyedap masakan, terutama kambing dan jenis daging lainnya.
Bisa jadi, asumsi ini benar. Sebab, masakan Aceh ada kemiripan dengan model masakah Hindia. Di Malaysia misalnya, ada nasi Kandar yang diduga juga disisipi biji ganja sebagai penyedap. Mayoritan, Rumah Makan Nasi Kandar di negeri jiran itu, dilakoni para pedagang keturunan Hindia.
Ketika Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Pihak penjajah memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau. Walau Belanda yang membawanya ke dataran tinggi Aceh, namun menurut fakta yang ada, tanaman tersebut bukan berarti sepenuhnya berasal dari negaranya. Bisa jadi tanaman ini dipungut dari daratan Asia lainya seperti China.
Hikayat negeri China juga tak kalah sama dengan Hindia. Syahdan, ada yang menyebutkan ganja di Aceh berasal dari China yang dibawa para pedagang Tiongkok saat invasi dagang ke Aceh. Termasuk untuk ramuan masakan. Selain itu, para bangsawan China dikenal sebagai pengisap candu terbesar di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar