Sabtu, 03 Desember 2011

Ganja Aceh Demi Dunia Medis


UNODC (United Nation on Drug and Crimes) memposisikan Indonesia adalah salah satu negara penyuplai ganja terbesar di wilayah Asia Tenggara. Sementara wilayah Indonesia yang identik dengan tanaman ganja adalah Provinsi Aceh.

Selain Thailand, diperkirakan Aceh memiliki ladang ganja terbesar di Asia Tenggara yang tersebar di hutan-hutan, mulai dari Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Besar hingga Kabupaten Bireuen. Luasnya tanaman ganja di Aceh membuat Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menargetkan Aceh terbebas dari tanaman ganja pada tahun 2015 (majalah Sinar BNN, edisi 4/2010).

Struktur tanah yang subur di Aceh dan curah hujan yang tinggi memungkinkan pertumbuhan tanaman Cannabis Sativa, nama lain dari ganja sulit terbendung. Tanaman ini awalnya hanya berfungsi sebagai penyedap masakan untuk gulai kambing, dodol Aceh, mie Aceh, kopi Aceh dan sebagainya untuk menambah cita rasa makanan. Kelihaian orang Aceh meracik masakan dengan penyedap dari ganja (daun, biji dan batang) membuat kuliner Aceh pernah identik dengan tanaman terlarang ini.

Menurut sejarah, tanaman ganja masuk ke wilayah Aceh sejak abad ke-19 dari India. Ketika itu, Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo dan menggunakan ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi. Sejak itu, tanaman Cannabis tumbuh dan menyebar diberbagai wilayah di Aceh. Sementara di India, biji ganja disantap sebagai makanan ringan karena ternyata bijinya mengandung 20-25 persen protein.

Ganja atau Cannabis sebenarnya jenis tanaman liar, namun tidak bisa tumbuh pada sembarang jenis tanah. Tumbuhan ini hanya cocok tumbuh pada karakter tanah di Aceh, Thailand, dan Cina. Karakter tanah di wilayah Eropa, Amerika dan Afrika tidak memungkinkan tanaman Cannabis tumbuh subur, kecuali dengan sentuhan teknologi.

Kepentingan Pengobatan

Tanaman ganja sejak dahulu ketika pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM berfungsi sebagai pengobatan. Pada masa kekaisaran Shen Neng di Cina, ganja diracik sebagai minuman sejenis teh dan digunakan untuk obat malaria, beri-beri dan rematik. Berbagai penyakit yang diterapi hingga sembuh dengan menggunakan ganja ketika itu mulai dari penyakit rematik, hingga sakit perut. Selain itu untuk pengobatan, masyarakat Cina kuno memanfaatkan ganja untuk bahan tenun pakaian, dan acara ritual keagamaan seperti upacara kematian dan memuja dewa.

Tanaman ganja berada dalam famili Cannabaceae. Genus Cannabis (ganja) memiliki 15 jenis spesies lain di Indonesia, seperti Cannabis intersita, Cannabis altissima, Cannabis ericana, Cannabis chinensis, Cannabis arratica, Cannabis foetens, Cannabis frondosa, Cannabis generalis, Cannabis gigantea, Cannabis jamaicensis, Cannabis kafiristanica, Cannabis lupulus, Cannabis macrosperma, dan Cannabis ruderalis. Sementara diluar negeri, masih ada 13 jenis ganja lainnya. Cannabis Sativa adalah jenis ganja yang banyak beredar dalam pasar gelap di Indonesia, selain Cannabis altissima dan Cannabis chinensi. (Bowo Nurcahyo, 2010).

Pada beberapa negara, ganja digunakan untuk keperluan industri dan medis. Misalnya di Inggris yang memiliki lembaga Marijuana Center, lembaga yang melakukan penelitian tanaman untuk keperluaan medis dan farmasi. Berbagai hasil penelitian lembaga ini menetapkan bahwa mariyuana dapat menjadi obat yang ampuh. Misalnya, seseorang yang menderita lumpuh dapat disembuhkan dengan menggunakan mariyuana sebagai alat terapi dan berhasil sembuh kembali seperti sedia kala dan mengembalikan daya ingat yang tinggi dan tidak mengalami impoten.

Sementara di Kanada, pemerintah setempat berencana melegalkan ganja dan obat-obatan lainnya untuk kebutuhan farmasi. Banyak pasien melaporkan bahwa ganja mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya sehingga mendorong pemerintah Kanada melakukan legalisasi terhadap ganja. Pemerintah Kanada mulai mengizinkan ganja dengan resep dokter pada apotik-apotik di negara tersebut. Dalam satu ons, ganja dijual sekitar $ 113 kemudian dikirim kepada pasien atau dokter yang membutuhkan melalui kurir.

Ganja yang digunakan untuk keperluan tersebut adalah ganja jenis Hemp, sementara ganja jenis Cannabis dinyatakan terlarang. Penyebab ganja menjadi terlarang karena berpotensi disalahgunakan kandungan zat THZ yang bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk. Namun bila dikontrol kualitas dan kadarnya dengan proses yang benar, sebenarnya kadar zat THZ tidak membahayakan.

Komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THZ terdiri dari Delta-9-THZ dan Delta-8-THZ serta 61 unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang beracun. Delta-9-THZ mempunyai efek mempengaruhi otak manusia hingga menjalar pada pola pikir melalui organ penglihatan dan pendengaran dan berefek pada suasana hati penggunanya.

Pada daun dan biji yang mengandung Delta-9-THZ diyakini para ahli medis memiliki kandungan yang dapat menjadi obat-obatan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti penyakit tumor dan kanker. Sementara akar dan batang bisa dibuat ramuan jamu untuk menyembuhkan penyakit disentri, antrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, bronchitis, luka bakar, kejang perut, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, kandungan kimia dalam tanaman Cannabis bisa membantu penyembuhan penyakit didalam tubuh seperti antispasmodicanodyne (penenang), tonic (penguat), intoxicant (racun keras), analgesic dan stomachic. (penghilang rasa sakit),

Pecandu ganja memiliki risiko terkena schizophrenia, suatu gejala paranoid yang dapat menyebabkan seseorang sakit jiwa. Hal ini berdasarkan hasil penelitian para ahli di Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggeris. Ciri-ciri orang yang terkena schizophrenia adalah mudah panik, mengalami depresi, merasa ketakutan, kebingungan dan sering berhalusinasi. Bagi perempuan yang sudah berkeluarga, ganja dapat mengganggu kehamilan dan pertumbuhan janin.

Serat tanaman ganja yang disebut hemp memiliki keunggulan dibanding serat kapas. Tanaman hemp bisa diproduksi untuk keperluan tekstil, kertas, lapisan rem dan kopling hingga tali. Konon, tanaman hemp digunakan Amerika Serikat pada Perang Dunia II untuk tali kapal bagi para tentara angkatan lautnya. Serat ganja juga memiliki kandungan yang bisa menjadi bahan minyak bakar. Kandungan minyaknya aman dan berbeda dengan minyak olahan dari kelapa sawit.

Dalam kajian ilmiah tentang tanaman ganja, mulai dari batang, biji hingga daun memiliki manfaat bagi dunia kesehatan untuk terapi medis. Batang ganja dapat digunakan sebagai bahan baku kertas yang memiliki kualitas lebih bagus dari kayu. Perbandingannya: pada batang ganja terkandung sellulose 85 persen dan rendah lignin 5 persen, sementara pada kayu memiliki kandungan sellulose 50 persen dan tinggi lignin 34 persen. Batang tanaman ganja juga digunakan untuk pembuatan tekstil. 

Calvin Klein (CK) Garmen menghasilkan pakaian dari tanaman ganja karena dapat menyerap 95 persen radiasi sinar ultra violet. Selain kertas dan tekstil, batang ganja juga dapat menjadi minyak bakar kendaraan. Mobil Henry Ford pertama dijalankan dengan minyak ganja. Tanaman ganja dalam 1 hektar dapat menghasilkan 1.000 galon methanol. Sementara pada biji ganja dapat dijadikan suplemen nutrisi yang mengandung omega 3 EFA yang berfungsi mengoreksi secara cepat defesiensi Omega-3 dalam tubuh. Sedang daun ganja berguna untuk penyuplai industry farmasi sebagai obat antikanker, anti glaucoma, obesitas dan sebagainya.

Sangat disayangkan bila Aceh yang memiliki potensi besar penghasil ganja apabila dimusnahkan begitu saja. Pemerintah Aceh dapat menjadikan ganja sebagai produk andalan untuk keperluan industri dan medis. Karena itu, tugas pemerintah Aceh melokalisir ladang ganja agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab karena sesungguhnya ganja dapat “dibenargunakan” untuk keperluan medis dan industri farmasi

Ganja Aceh Demi Dunia Medis


UNODC (United Nation on Drug and Crimes) memposisikan Indonesia adalah salah satu negara penyuplai ganja terbesar di wilayah Asia Tenggara. Sementara wilayah Indonesia yang identik dengan tanaman ganja adalah Provinsi Aceh.

Selain Thailand, diperkirakan Aceh memiliki ladang ganja terbesar di Asia Tenggara yang tersebar di hutan-hutan, mulai dari Kabupaten Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Besar hingga Kabupaten Bireuen. Luasnya tanaman ganja di Aceh membuat Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menargetkan Aceh terbebas dari tanaman ganja pada tahun 2015 (majalah Sinar BNN, edisi 4/2010).

Struktur tanah yang subur di Aceh dan curah hujan yang tinggi memungkinkan pertumbuhan tanaman Cannabis Sativa, nama lain dari ganja sulit terbendung. Tanaman ini awalnya hanya berfungsi sebagai penyedap masakan untuk gulai kambing, dodol Aceh, mie Aceh, kopi Aceh dan sebagainya untuk menambah cita rasa makanan. Kelihaian orang Aceh meracik masakan dengan penyedap dari ganja (daun, biji dan batang) membuat kuliner Aceh pernah identik dengan tanaman terlarang ini.

Menurut sejarah, tanaman ganja masuk ke wilayah Aceh sejak abad ke-19 dari India. Ketika itu, Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo dan menggunakan ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi. Sejak itu, tanaman Cannabis tumbuh dan menyebar diberbagai wilayah di Aceh. Sementara di India, biji ganja disantap sebagai makanan ringan karena ternyata bijinya mengandung 20-25 persen protein.

Ganja atau Cannabis sebenarnya jenis tanaman liar, namun tidak bisa tumbuh pada sembarang jenis tanah. Tumbuhan ini hanya cocok tumbuh pada karakter tanah di Aceh, Thailand, dan Cina. Karakter tanah di wilayah Eropa, Amerika dan Afrika tidak memungkinkan tanaman Cannabis tumbuh subur, kecuali dengan sentuhan teknologi.

Kepentingan Pengobatan

Tanaman ganja sejak dahulu ketika pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM berfungsi sebagai pengobatan. Pada masa kekaisaran Shen Neng di Cina, ganja diracik sebagai minuman sejenis teh dan digunakan untuk obat malaria, beri-beri dan rematik. Berbagai penyakit yang diterapi hingga sembuh dengan menggunakan ganja ketika itu mulai dari penyakit rematik, hingga sakit perut. Selain itu untuk pengobatan, masyarakat Cina kuno memanfaatkan ganja untuk bahan tenun pakaian, dan acara ritual keagamaan seperti upacara kematian dan memuja dewa.

Tanaman ganja berada dalam famili Cannabaceae. Genus Cannabis (ganja) memiliki 15 jenis spesies lain di Indonesia, seperti Cannabis intersita, Cannabis altissima, Cannabis ericana, Cannabis chinensis, Cannabis arratica, Cannabis foetens, Cannabis frondosa, Cannabis generalis, Cannabis gigantea, Cannabis jamaicensis, Cannabis kafiristanica, Cannabis lupulus, Cannabis macrosperma, dan Cannabis ruderalis. Sementara diluar negeri, masih ada 13 jenis ganja lainnya. Cannabis Sativa adalah jenis ganja yang banyak beredar dalam pasar gelap di Indonesia, selain Cannabis altissima dan Cannabis chinensi. (Bowo Nurcahyo, 2010).

Pada beberapa negara, ganja digunakan untuk keperluan industri dan medis. Misalnya di Inggris yang memiliki lembaga Marijuana Center, lembaga yang melakukan penelitian tanaman untuk keperluaan medis dan farmasi. Berbagai hasil penelitian lembaga ini menetapkan bahwa mariyuana dapat menjadi obat yang ampuh. Misalnya, seseorang yang menderita lumpuh dapat disembuhkan dengan menggunakan mariyuana sebagai alat terapi dan berhasil sembuh kembali seperti sedia kala dan mengembalikan daya ingat yang tinggi dan tidak mengalami impoten.

Sementara di Kanada, pemerintah setempat berencana melegalkan ganja dan obat-obatan lainnya untuk kebutuhan farmasi. Banyak pasien melaporkan bahwa ganja mengurangi rasa mual pada penderita AIDS dan penyakit lainnya sehingga mendorong pemerintah Kanada melakukan legalisasi terhadap ganja. Pemerintah Kanada mulai mengizinkan ganja dengan resep dokter pada apotik-apotik di negara tersebut. Dalam satu ons, ganja dijual sekitar $ 113 kemudian dikirim kepada pasien atau dokter yang membutuhkan melalui kurir.

Ganja yang digunakan untuk keperluan tersebut adalah ganja jenis Hemp, sementara ganja jenis Cannabis dinyatakan terlarang. Penyebab ganja menjadi terlarang karena berpotensi disalahgunakan kandungan zat THZ yang bisa mengakibatkan pengguna menjadi mabuk. Namun bila dikontrol kualitas dan kadarnya dengan proses yang benar, sebenarnya kadar zat THZ tidak membahayakan.

Komposisi kimia yang terkandung dalam ganja adalah Cannibanol, Cannabidinol atau THZ terdiri dari Delta-9-THZ dan Delta-8-THZ serta 61 unsur kimia lagi yang sejenis dan lebih 400 bahan kimia lainnya yang beracun. Delta-9-THZ mempunyai efek mempengaruhi otak manusia hingga menjalar pada pola pikir melalui organ penglihatan dan pendengaran dan berefek pada suasana hati penggunanya.

Pada daun dan biji yang mengandung Delta-9-THZ diyakini para ahli medis memiliki kandungan yang dapat menjadi obat-obatan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti penyakit tumor dan kanker. Sementara akar dan batang bisa dibuat ramuan jamu untuk menyembuhkan penyakit disentri, antrax, asma, keracunan darah, batuk, diare, bronchitis, luka bakar, kejang perut, dan lain-lain. Dalam dunia kedokteran, kandungan kimia dalam tanaman Cannabis bisa membantu penyembuhan penyakit didalam tubuh seperti antispasmodicanodyne (penenang), tonic (penguat), intoxicant (racun keras), analgesic dan stomachic. (penghilang rasa sakit),

Pecandu ganja memiliki risiko terkena schizophrenia, suatu gejala paranoid yang dapat menyebabkan seseorang sakit jiwa. Hal ini berdasarkan hasil penelitian para ahli di Universitas Cardiff dan Universitas Bristol, Inggeris. Ciri-ciri orang yang terkena schizophrenia adalah mudah panik, mengalami depresi, merasa ketakutan, kebingungan dan sering berhalusinasi. Bagi perempuan yang sudah berkeluarga, ganja dapat mengganggu kehamilan dan pertumbuhan janin.

Serat tanaman ganja yang disebut hemp memiliki keunggulan dibanding serat kapas. Tanaman hemp bisa diproduksi untuk keperluan tekstil, kertas, lapisan rem dan kopling hingga tali. Konon, tanaman hemp digunakan Amerika Serikat pada Perang Dunia II untuk tali kapal bagi para tentara angkatan lautnya. Serat ganja juga memiliki kandungan yang bisa menjadi bahan minyak bakar. Kandungan minyaknya aman dan berbeda dengan minyak olahan dari kelapa sawit.

Dalam kajian ilmiah tentang tanaman ganja, mulai dari batang, biji hingga daun memiliki manfaat bagi dunia kesehatan untuk terapi medis. Batang ganja dapat digunakan sebagai bahan baku kertas yang memiliki kualitas lebih bagus dari kayu. Perbandingannya: pada batang ganja terkandung sellulose 85 persen dan rendah lignin 5 persen, sementara pada kayu memiliki kandungan sellulose 50 persen dan tinggi lignin 34 persen. Batang tanaman ganja juga digunakan untuk pembuatan tekstil. 

Calvin Klein (CK) Garmen menghasilkan pakaian dari tanaman ganja karena dapat menyerap 95 persen radiasi sinar ultra violet. Selain kertas dan tekstil, batang ganja juga dapat menjadi minyak bakar kendaraan. Mobil Henry Ford pertama dijalankan dengan minyak ganja. Tanaman ganja dalam 1 hektar dapat menghasilkan 1.000 galon methanol. Sementara pada biji ganja dapat dijadikan suplemen nutrisi yang mengandung omega 3 EFA yang berfungsi mengoreksi secara cepat defesiensi Omega-3 dalam tubuh. Sedang daun ganja berguna untuk penyuplai industry farmasi sebagai obat antikanker, anti glaucoma, obesitas dan sebagainya.

Sangat disayangkan bila Aceh yang memiliki potensi besar penghasil ganja apabila dimusnahkan begitu saja. Pemerintah Aceh dapat menjadikan ganja sebagai produk andalan untuk keperluan industri dan medis. Karena itu, tugas pemerintah Aceh melokalisir ladang ganja agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab karena sesungguhnya ganja dapat “dibenargunakan” untuk keperluan medis dan industri farmasi...

Di Laut Lepas Aceh, Ada 129 Pulau Tanpa Nama



Masih ada 129 pulau di Aceh yang belum terdaftar dalam lembaran negara. "Pulau yang belum ada nama di Aceh karena tidak ada penghuninya. Ke-129 pulau tersebut adalah pulau-pulau yang ada diperbatasan negara di wilayah laut Aceh.

Aneh memang, bila sampai kini banyak pulau-pulau di Aceh belum memiliki nama. Tapi itulah fakta yang muncul saat Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Irman Gusman, menyatakan bahwa ada sekitar 129 pulau di Aceh belum memiliki nama.

Hal tersebut terungkap saat pertemuan antara rombongan DPR RI asal Aceh, dengan Pemerintah Kota Sabang, Muspida, dan para tokoh masyarakat setempat di Aula Pemko Sabang, Kamis siang (3/11).

Sebagai provinsi paling ujung Indonesia, fakta tersebut merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh Aceh.

"129 pulau di Aceh belum ada namanya, betapa luar biasanya bangsa kita ini," sindir Irman dalam pertemuan tersebut.

Dalam pertemuan itu, Irman menyatakan pihaknya perlu melakukan langkah-langkah identifikasi terhadap pulau-pulau di Aceh yang belum dinamai itu.

Tentunya, kata Irman, dengan melibatkan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan di bawah Kementerian Dalam Negeri."Nantinya, melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, pulau-pulau tersebut dapat segera teridentifikasi. Anggarannya juga sudah agak lumayan," katanya.

Hal tersebut juga disampaikan oleh T. Bahrum Manyak, Rabu (2/11) dalam pertemuan dengan wartawan di kantor AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia.

"Pulau yang belum ada di Aceh karena tidak ada penghuninya. Kita mendesak pemerintah untuk mengeluarkan PP untuk memberi nama," ujarnya.

Bahrum juga mengatakan bahwa hal ini harus mendapatkan perhatian khusus dari Pemda. "Dan ini harus segera dilakukan. Jangan sampai hilang nanggroe sedikit-sedikit," tegasnya.

Dia juga mengatakan bahwa ke-129 pulau tersebut adalah pulau-pulau yang ada diperbatasan negara di wilayah laut Aceh. "Banyak orang yang tidak tau tentang pulau tersebut, padahal mungkin potensinya bagus," ungkapnya.


Dalam kunjungan yang turut diikuti empat orang anggota DPD RI Asal Aceh termasuk Ahmad Farhan Hamid yang merupakan Wakil Ketua MPR RI, Irman mengaku bahwa itu merupakan hal yang luar biasa.

"Betul-betul kita ini, zamrud khatulistiwa, begitu banyaknya pulau. Ada yang timbul dan ada yang hilang," katanya.

Sebagai pulau terdepan, kata dia, Sabang harus menjadi tempat penelitian pembangunan perbatasan. Kunjungan DPD RI ke Aceh ini, dalam rangka kunjungan kerja ke daerah perbatasan atau ke daerah pulau terluar paling barat Indonesia.

Kunjungan tersebut juga untuk menerima masukan dari masyarakat sebagai upaya percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan ini. Dengan harapan, kata Irman, Sabang menjadi model dalam membangun Aceh secara baik.

“Rantee Bui” dan Kisah “Pawang Rimueng”




DALAM sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ada kisah-kisah mistik. Salah satunya, ajimat rante bui yang dipakai oleh ulama-ulama pengerak perlawanan. Salah satu rante bui itu adalah milik Tgk Chik Di Tiro. Ajimat itu ditemukan Belanda ditubuh Tgk Di Cot Plieng. Sampai kini masih tersimpan di Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda dalam etnografia Aceh.

Oleh Iskandar Norman (*

Setelah Snouckh Horgronje, mungkin Schimist lah orang Belanda yang sangat paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh. Apalagi ditopang dengan pembawaannya yang tenang dan sikapnya yang terkendali.

Namun sebagai tentara Belanda, ia tetap tidak sepenuhnya diterima masyarakat Aceh. Apalagi dalam kecamuk perang. Dalam tahun 1906, Schmist bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang kacau balau. Di dua daerah itu, saban hari peristiwa jebakan dan sergapan dengan kelewang terjadi.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Schmist pun mencari seorang mata-mata handal. Baginya, tidaklah sulit mencari mata-mata itu. Yang sulit baginya adalah merahasiakan hubungannya dengan mata-mata tersebut. Apalagi, di daerah itu ia berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh, yang juga punya banyak mata-mata handal untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka “perang” antar spionase pun terjadi. Antara Schmist dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke lapangan. Sebagaimana Schmist mempunyai banyak mata-mata di sekitar Teungku Puteh, maka sebanyak itu pula ada mata-mata Teungku Puteh disekitar Schmist.

Terhadap peristiwa saling mengintai lawan tersebut, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” mengungkapkan. “Ini adalah permainan licin melawan licin, yang setiap saat dapat menetas menjadi salah satu serangan kelewang yang amat terkenal dan sangat fanatik serta serba mendadak. Sehingga penduduk Seunagan terkenal sangat buruk pada pasukan kita (Belanda-red). Kita tidak pernah merasa yakin akan hari esok,” tulis mantan serdadu belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan tersebut.

Selanjutnya, mantan redaktur Java Bode itu mengisahkan, diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, terdapat seorang pedagang yang membuka sebuah toko kecil di Keude (pasar-red) Seunagan. Zentgraaff menyebutnya seorang badut yang sangat lihai, yang sekali-kali juga datang kepada Schmist untuk sekedar ngomong-ngomong sebagai basa-basi. “Padahal ia ingin menggali informasi sekitar Schmist untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh,” jelas Zentgraaff.

Pada suatu hari, Schmidt menerima berita baik dari salah seorang mata-matanya. Ia segera menelaah informasi yang diberikan oleh mata-mata tersebut. Pada saat yang bersamaan, datang pula pedagang dari Keude Seunagan itu ke sana, yang tak lain merupakan mata-mata dari Teugku Puteh.

Keduanya pun dibawa masuk kedalam sebuah ruangan oleh Schmist. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya. Sementara si pedang mendengarnya dengan seksama. Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh tersebut akhirnya diketahui Schmist, setelah ia membongkar rencana Schmist dan pasukannya yang akan menyeran gerilayawan Aceh. Esokya sipedagang itu pun disuruh tangkap.

Antara Schmist dan Teungku Puteh, selain juga sama-sama punya kekuatan mistik. Konon menurut Zentgraaff, Schmist merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuk dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke Nezerland, sehingga anak Aceh tersebut menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Soal kekuatan mistik yang dimiliki Schmist, Zentgraaff mengaku pernah mendengar hal itu dari Cut Fatimah, janda dari Teungku Keumangan, yang selama hayatnya memberikan perlawanan yang gigih terhadap pasukan-pasukan Belanda di Jeuram. “Ia telah bercerita pada saya, bahwa Schmist adalah salah seorang dari orang-orang yang tidak banyak jumlahnya. Ia memiliki rante bui, yang membuatnya menjadi kebal. Ia juga megetahui hal-hal yang mistik,” ungkap Zentgraaff.

Namun Zentgraaff tidak yakin Schmist memiliki rante bui tersebut. Menurutnya, yang memiliki benda yang bisa menjadi ajimat tersebut hanyalah Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh (ulama) yang mengobarkan semangat jihat untuk melawan Belanda. “Teungku Cot Plieng merupakan yang paling utama diantara mereka itu. 

Komandan-komandan patroli kita (Belanda-red) yang paling ulung sekali pun, tak punya harapan menghadapi dia. Tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian segerombolan dari ulama yang sangat keramat itu,” tulis Zentgraaff.

Pun demikian, pasukan Belanda terus memburunya, sampai kemudian pada Juni 1904, pasukan Belanda pimpinan Kapten Stoop berhasil menemukan jejaknya diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dari “lubang jarum” dengan meninggalkan Al Qur’an dan jimat stempelnya.

Jimat stempel yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu, disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat stempel tersebut Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap oleh sebuah pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt. Dalam penyergapan tersebut, ulama karismatik itu pun tewas tertembak.

Mayatnya kemudian diusungkan ke salah satu bivak, untuk keperluan identifikasi. Belanda heran, karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda akhirnya memanggil Panglima Polem.

Sampai di sana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya. “Ketika kami berjumpa, Panglima Polem bilang hal itu merupakan rahasia tuhan,” jelas Zentrgaaff.

Panglima Polem pun kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistik.

Setelah operasi pembersihan besar-besar dilakukan pasukan Belanda di Pidie, ajimat itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai “Tuan Pedoman”. Ia tidak juga memakai ajimat itu. Ia lebih percaya kepada sebilah besi baja tajam dan sepucuk revolver, ketimbang ajimat tersebut.

Akhirnya rante bui itu dihadiahkan kepada Kolonial Museum di Amsterdam, Belanda, yang hingga kini masih disimpan dalam etnografia Aceh. “Saya berhasil memperoleh sebuah gambar potretnya berkat bantuan seorang bekas opsir marsose kawakan bernama Lamster,” jelas Zentgraaff.

Pawang Rimueng

Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.

Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.

Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).

Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.

Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.

Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.

Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.

Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.

Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.

Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.

Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.

Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.

Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.

Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,”

Meledak, “Tolong jangan Tanya Saya”



SEBUAH gerobak penjual burger di atas trotoar Jalan T Nyak Arief, kawasan Lampriek, Banda Aceh terus beraktifitas melayani pembeli meski granat baru saja meledak pada jarak sekitar 20 meter dari usaha burger bermerek Heppy tersebut.

“Sudahlah, jangan tanya saya. Saya hanya cari rezeki,” kata si penjual burger bernama Abenk (25) saat Serambi memintai keterangannya terkait ledakan dahsyat yang terjadi sekitar pukul 19.40 WIB, Kamis (1/12).

Meski enggan memberikan kesaksian, namun Abenk mengakui, saat kejadian itu ia sedang menggoreng roti untuk membuat burger pesanan seorang pelanggannya. “Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Saya kaget dan sempat berdiri kaku beberapa saat saja,” kata Abenk sambil menyebutkan bahwa dia tak tahu apakah granat itu dilempar atau meledak sendiri.

Bukan hanya Abenk dan dua rekannya yang tetap beraktivitas pasca-kejadian itu. Sejumlah ‘warung trotoar’ lainnya termasuk sejumlah cafe di kiri kanan Jalan T Nyak Arief juga tetap buka melayani pelanggan.

Penghuni Wisma Lampriek juga terlihat tenang-tenang saja, bahkan beberapa orang tamu penginapan itu duduk santai di teras sambil melihat aparat kepolisian mencari serpihan granat dengan menggunakan metal detector.

Suasana di Seuramoe Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan yang tak jauh dari titik ledakan tadi malam juga terlihat tenang-tenang saja. Pekerja di ‘markas’ tim sukses Irwandi tetap beraktivitas sebagaimana biasa. Padahal, tiga malam sebelumnya, halaman ‘seuramoe’ tersebut juga menjadi sasaran pelemparan dan ledakan granat.(Serambinews.com)

Sebagaimana diketahui pada pukul 19.50 WIB (1/12) terjadi pelemparan granat oleh orang tak dikenal di mess lampriet yang dipakai oleh staf menkopolhukam. Ada korban yang sedang makan burger dan sudah dilarikan ke RSUZA, korban tiga pelajar yakni; 

1. Ardenan (20) mahasiswa Unsyiah, luka kaki, tinggal di Lamgugob.
2. Lia (22) mahasiswi Unsyiah luka kaki, tinggal di Lamgugob.
3. Ina (23) mahasiswa Unsyiah, luka kaki, Desa Peurada.