Jumat, 10 Februari 2012

TRIMARAN KAPAL PERANG CANGGIH INDONESIA..

Indonesia segera memiliki satu kapal perang canggih berpeluru kendali “Trimaran” yang merupakan produk dalam negeri.  ”Kapal ini terbuat dari serat karbon, dengan kecepatan 35 knot dan dipersenjatai peluru kendali yang memiliki jarak tembak 120 kilometer,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin usai meninjau industri kapal dalam negeri PT Lundin Industry Invest di Banyuwangi, Jawa Timur.
Ia mengatakan, dalam lima bulan mendatang kapal perang canggih yang merupakan prototipe itu langsung bisa dioperasionalkan memperkuat jajaran armada tempur TNI Angkatan Laut. ”TNI Angkatan Laut memesan empat unit kapal, dan dalam lima bulan mendatang sudah jadi satu kapal perang `Trimaran`, sedangkan tiga unit lainnya akan segera dibangun secara bertahap hingga 2014,” kata Sjafrie menambahkan.  Satu unit kapal “Trimaran” dihargai sekitar Rp114 miliar yang diambil dari APBN 2011.
“Jika proyek pengadaan ini berhasil maka ini merupakan sejarah bagi Indonesia karena telah berhasil membuat kapal perang dengan komposit serat karbon, dan ini akan dipatenkan dan diekspor ke luar negeri,” kata Sjafrie.  Direktur PT Lundin Industry Invest, John Lundin, mengatakan pihaknya telah melakukan ujicoba terhadap kapal dengan panjang sekitar 62,52meter tersebut.  ”Ini merupakan kapal `Trimaran` pertama yang dibuat dari serat karbon. Amerika pernah membuat kapal sejenis dengan panjang 120 meter namun dari bahan alumunium atau baja.
Komposit serat karbon juga telah digunakan untuk pembuatan pesawat airbus Boeing-777 dan mobil formula 1. Ketahanannya 20 kali lebih kuat dibandingkan baja. Kapal cepat berpeluru kendali itu memiliki panjang keseluruhan 62,53 meter, panjang “water line”, 50,77 meter panjang “water draft” 1,17 meter, bobot mati 53,1 GT, kecepatan maksimum 30 knot, kecepatan jelajah 16 knot, dengan mesin utama 4X marine engines MAN nominal 1.800 PK.
Konsep Littoral Combat Ship(LCS)ada kemiripan dengan USS Independence (LCS-2)
lcs gd line2 TRIMARAN KAPAL PERANG CANGGIH INDONESIA
2010011756721201 TRIMARAN KAPAL PERANG CANGGIH INDONESIA

KRONOLOGI AWAL DAN AKHIR PERTEMPURAN DI LAUT ARAFURU 16 JANUARI 1962..



Markas Besar Angkatan Laut awal Januari 1962. Wajah Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Raden Eddy Martadinata nampak agak kurang cerah, ketika pulang dari rapat Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang baru saja diikutinya di Istana Negara. Lembaga ini merupakan komando Operasi militer paling tinggi yang dibentuk dengan tugas khusus untuk membebaskan Irian Barat. (Gambar KRI Harimau dan KRI Macan Tutul = kiri) Komando tersebut dipimpin langsung oleh Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno. Dalam komando pelaksanaan tugas tersebut, Bung Karno memegang Jabatan Panglima Besar. Ia dibantu seorang Wakil Panglima Besar, dijabat oleh Jenderal Abdul Haris Nasution serta didukung Kepala Staf, Kolonel Achmad Yani. Sebagai seorang pelaut  profesional, komitmen Martadinata dalam menangani segala macam permasalahan kelautan, tidak ada yang meragukan.

Semasa perang. 
Kemerdekaan , ketika banyak warga masyarakat Indonesia masih belum memahami arti pentingnya  peranan laut, Martadinata telah diberi tugas oleh KSAL Subyakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin Special Operation, S.O. Menurut Subyakto, S.O merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut, Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menembus Blokade  Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk meneruskan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendidikan S.O mengambil tempat di Telaga Sarangan, Lereng Gunung Lawu, Jawa Timur tempat di tepi Usaha menerobos blokade kecuali berbahaya terbukti sangat penting.

Apalagi karena kenyataannya , semasa perang kemerdekaan  Indonesia, Angkatan Laut
Belanda melakukan blokade secara total terhadap wilayah Republik. Dengan demikian bisa dimaklumi, meskipun pada saat itu Martadinata menghadapi kendala kelangkaan dana dan daya, namun dia telah berfikir jauh  ke depan. Ia sudah mengantisipasi datangnya peluang dengan kapal cepat untuk bisa menerobos blokade lawan, sebagai salah satu upaya untuk  tetap bisa mempertahankan kedaulatan  bangsa dan negara.

Pada siang itu, se-usai menghadiri rapat di Istana, Martadinata langsung mengumpulkan seluruh anggota Staf Operasi MBAL. Dengan kalimat jernih, kepada semua stafnya, dia mengungkapkan hasil rapat di Istana. "Presiden /Panglima Tertinggi baru saja  memerintahkan untuk segera dilakukan infiltrasi, mendaratkan pasukan untuk masuk ke wilayah Irian Barat..."  Menurut Martadinata, sambil menunggu perintah Bung Karno, infiltrasi tersebut akan dilakukan oleh satu kompi pasukan angkatan darat, terdiri dari para putera daerah asal Irian. Pasukan yang bakal dikategorikan sebagai sukarelawan termasuk sebelumnya sudah melakukan latihan militer dengan cukup intensif. sesuaiperintah Panglima Tertinggi, infiltrasi akan dilakukan melalui laut, tanggal 15 Januari pukul 24.00, dengan sasaran wilayah di arah Selatan  Kaimana, di sekitar Vlake Hoek..."

Dengan cepat melirik  Sudomo, Martadinata langsung menambahkan,"siapkan material dan personil untuk menunjang  Operasi tersebut letnan Kolonel Sudomo , Kepala Direktorat Operasi dan Latihan MBAL, segara menjawab dengan singkat, "Siap Pak, kami laksanakan."

Sudomo sama sekali tidak heran dengan datangnya keputusan rapat semacam itu. Dalam benaknya masih segar ingatan mengenai suasana pada tanggal 19 Desemher 1961, kurang dua Minggu sebelum rapat di MBAL ini berlangsung. Di depan rapat raksasa Alun-alun Utara Yogyakarta,Presiden/Panglima Tertinggi baru saja mengumandangkan Tri Komando Rakyat. lsi perintah yang disampaikan secara langsung di depan massa tersebut mencakup tiga hal. Pertama, gagalkan pembentukan Negara Papua. Kedua, kibarkan bendara Marah Putih di bumi Irian Barat, dan ketiga, yang terakhir, perintah mobilisasi. 

Pada saat itu Sudomo merasa yakin, rapat yang baru saja diikuti oleh Men/Pangal, merupakan salah satu bentuk penjabaran dalam pelaksanaan Trikora. Terutama, sesudah dia juga menyadari, pada tanggal 2 Januari 1962, lawat Surat keputusan Presiden No. I tahun 1962, Bung Karno telah menunjuk  Mayor Jenderal Soeharto untuk memegang Jabatan  Panglima Komando Mandala.

PERSENGKETAAN SEJAK KMB 
Persengketaan  antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda mengenai wilayah Irian Barat sudah berlangsung sejak berakhirnya Konferensi Meja  Bundar (KMB). Hasil utama KMB adalah pengakuan kedaulatan bagi Republik Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda dengan pengecualian`, wilayah Irian Barat. Pembahasan terhadap wilayah seluas 160.618 mi1 persegi yang terletak di ujung Timur wilayah Indonesia tersebut, sesuai dengan keputusan KMB, disepakati untuk ditunda satu tahun kemudian. jangka waktu setahun sesuai kesepakatan awal KMB, akhir malah berlarut-larut. Pemerintah Belanda dengan nekat terus mempertahankan wilayah tersebut. Sementara usaha Indonesia membawa persengketaan ini agar bisa dibicarakan dalam sidang umum PBB menemui ke-gagalan. Kegagalan tersebut sebagai akibat pelaksanaan perhitungan suara PBB pada akhir November 1957 menunjukkan : 41 negara mendukung, 29 menentang dan sebelas negara abstain. Hasil perhitungan suara tersebut artinya, masih kurang 14 suara agar bisa mencapai dua pertiga jumlah negara anggota), untuk mengangkat persengketaan Irian Barat masuk dalam agenda sidang umum PBB. Situasi semacam ini akhirnya memaksa pemerintah Indonesia menempuh jalan lain.

Awal Desember tahun 1957, jalan Iain tersebut  mulai muncul. Uni Indonesia Belanda sesuai  hasil KMB, secara sepihak dibatalkan oleh pemerintah Indonesia.Langkah keras ini berlanjut dengan pengusiran sekitar 50.000 warga negara Belanda serta dinasionalisasikannya semua milik Belanda yang tertinggal di Indonesia. Pihak Belanda tampaknya tetap saja berkepala batu. Pertengahan April 1960, mereka justru mengumumkan diperkuatnya pertahanan Irian Barat dengan mendatangkan sebuah kapal induk, panembahan jumlah pasukan infanteri serta diperbantukannya satu skuadron pesawat Jet tempur. Di samping memperkuat per tahanan di Irian, pemerintah Belanda juga mengumumkan rencana pembentukan negara Papua, Langkah semacam ini jelas . tidak bak:11 meredakan ketegangan antara  Indonesia dan Belanda. Justru  memaksa pihak Indonesia mengambil langkah I drastis. Pada pertengahan Agustus 1959, di  tengah-tengah pidato memperingati : Proklamasi  Kemerdekaan , Presiden Soekarno  menyatakan putusnya hubungan diplomatik antara kedua negara. Sampailah kemudian, dengan memilih tanggal dimulainya Agresi Militer 1 ke ibukota Republik di Yogyakarta 19 Desember 1948. Bung Kamu pada tanggal yang sama dan di kata yang sama juga, mengumumkan Tri Komandan Rakyat, Sesudah menerima perintah dari Men/Pangal untuk mempersiapkan perintah operasi, letkol Sudomo kemudian menyelenggarakan rapat staf. Dalam rapat tersebut dibahas berbagai macam alternatif . Menurut kajian, kapal selam merupakan sarana angkutan infiltran yang paling ideal dan tidak banyak menghadapi resiko. 

Hanya saja, kapal selam memiliki keterbatasan dan daya angkut jumlah pasukan, Di samping itu, pada kenyataannya armada kapal selam Indonesia saat itu masih belum siap untuk mendukung operasi infiltrasi. Secara sangat kebetulan, pada saat itu armada ALRI baru saja diperkuat dengan kedatangan delapan Kapal Cepat Torpedo (KCT) Motor Torpedo Boat (MTB) yang dibeli dari Jerman. Barat. Empat dari delapan KCT itulah yang kemudian dipilihnya sebagai kapal pengangkut infiltran, Alasan untuk memilih KCT karena KCT merupakan kapal paling baru, larinya Cepat dan mudah bergerak dengan tangkas seandainya harus membawa tambahan pasukan. Pada rapat terbatas ini juga sudah ikut dibahas kelemahan mendasar dari MTB eks Jerman Barat tersebut. Industri Jerman yang baru saja kalah dalam PD II dibatasi dalam memproduksi peralatan perang. Termasuk kena pembatasan produksi torpedo. Dengan demikian MTB yang sewajatrma harus selalu membawa senjata utama torpedo, diterima Indonesia dengan tabung torpedo dikosongkan. Semua rencana awak MTB Jerman tersebut akan di lengkapi torpedo yang akan dibeli dari Inggris. Sayangnya setelah konflik Irian Barat semakin panas, Inggris justru memberlakukan larangan pengiriman senjata strategis, termasuk torpedo terhadap Indonesia. 

SUDOMO SEBAGAI KOMANDAN 
Bagaimanapun juga, Sudomo segara menyusun gugus tugas dengan mengandalkan dukungan dari keempat KCT eks Jerman Barat tersebut. Masing-masing RI Marian Tutu] dengan komandan Kapten Wiranto, RI Marian Kumbang dipimpin Kapten Sidhoparomo, dan Rl Hurimau dengan komandan Kaptcn Samuel Muda dan satu lagi RI Singa. Satuan ini diberi nama Satuan Tugas Chusus (STC-9). Tetapi sesudah satuan tugas ini terbentuk, langsung muncul persoalan baru, siapa yang harus ditunjuk menjadi komandan "Hari itu pula saya kumpulkan semua perwira dengan pangkat letnan kolonel dan mayor yang bertugas di lingkungan MBAL. Pokoknya, semua perwira yang pangkatnya lebih tinggi dari para komandan KCT. Saya beberkan rencana operasi, mengangkut pasukan untuk di daratkan di Irian dan langsung harus bisa kembali secepatnya ke Jakarta. Saya tawarkan posisi tersebut, siapa yang secara sukarela bersedia menjabat komandan satgas?," beber Sudomo Menurut Sudomo, tak tampak satu pun perwira di ruangan yang berani angkat tangan. Ia menarik kesimpulan, tidak ada perwira yang punya keberanian untuk memimpin satgas tersebut. Secara pribadi ia merasa operasi laut semacam itu sangat berbahaya dan sulit dipertanggung jawabkan, karena tidak memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan layaknya suatu operasi militer. Satuan tugas tersebut diberangkatkan menuju daerah operasi yang letaknya 2.000 mil (laut] dari pangkalan awal di Tanjung Priok, Jakarta. Untuk bisa mencapai sasaran sejauh itu, SCT-9 ini perlu melakukan tiga kali temu kumpul (rendezvous) untuk pengisian bahan bakar, yang semuanya harus dilakukan di tengah laut, agar mampu meniaga faktor kerahasiaan. 

Kelemahan-kelemahan lain ialah kapal cepat torpedo tersebut tidak dilengkapi dengan senjata utama torpedo untuk dapat melawan serangan kapal di permukaan air yang memiliki senjata meriam kaliber besar. Untuk menghadapi serangan udara kapal diperlengkapi dengan dua Boffors kaliber 40 mm dan dua senapan mesin kaliber  12,7 mm. Faktor rawan lainnya ialah tidak adanya bantuan udara maupun tembakan dari udara khususnya pada waktu malam hari (infiltrasi dari laut dilakukan malam hari), karena angkatan udara kita belum memiliki   pesawat sejenis yang dimiliki oleh Belanda ialah Neptune dengan 2 kemampuan tersebut. 

Itulah berbagai masalah yang saat itu menimpa Sudomo. Merancang suatu operasi militer yang sama sekali tidak ditunjang dengan persyaratan minimal. Bagaimanapun juga, perintah adalah perintah, apalagi kali ini datangnya dari Panglima Tertinggi. Rapat segera  dibubarkan  dan sudomo langsung melaporkan hasilnya kepada Deputi I Angkatan Laut,  Komodor Yushapat Soedarso, rekan satu kelas semasa mengikuti pendidikan Sarangan. 

”Lapor, karena tidak ada perwira yang berminat untuk menjabat Komandan Satgas KCT, mohon izin, saya sendiri 'memimpin satgas ini," kata Sudumo tegar. Jawaban langsung diberikan Yos Sosdarso,"Kalau kau berangkat, saya juga akan ikut berangkat..." 

DAMPAK POLITIKNYA BESAR
Terus terang mendengar jawaban spontan semacam itu, hati Sudomo justru semakin bingung . Pada waktu itu, Yos adalah pejabat penting. Selaku Deputi I, dia adalah orang  kedua dalam jajaran ALRI. Scdangkan : operasi yang bakal dilakukan, sifatnya 'gerakan infiltrasi sekaligus aksi intelijen yang sulit dipertanggung jawabkan secara militer .Tidak sekadar berpatroli  dekat perbatasan, melainkan harus  masuk langsung ke wilayah musuh. Kemungkinan berhasil dalam perhitungan Sudomo memang masih terbuka. Tetapi, tingkat kerawanannya sangat tinggi . Sehingga misalnya sampai terjadi sesuatu kepada orang nomor dua dalam jajaranan ALRI tersebut  pasti akan menyeret dampak politis teramat besar. Mungkin tak bakal sebanding dengan keterlibatan seorang Deputi Operasi. Maka dengan nada halus Sudomo berusaha mencegah agar Komodor Yus Soedarso tidak usah ikut dalam pelaksanaan operasi rahasia ini. Tetapi usahanya sia-sia. Yos masih tatap saja memaksa. Terutama setelah dia sampat mendengar, Kolonel Moersajid, Asisten Operasi KSAD, juga bakal ikut. dalam operasi infiltrasi ini, "Lalu bagaimana ini, masa Moersajid bisa ikut kok saya malahan tidak? ini kan kapal Angkatan Laut?" Menurut Moersjid, rangkaian infiltrasi yang dikelola Angkatan Darat dengan menyelundupkan  pasukan ke daerah musuh, sudah beberapa kali dilakukan. Perwira penanggung jawab  program infiltrasi berada pada Kolonel Magenda, asisten intelijen KSAD, dengan perwira pelaksana Letnan Kolonel Roejito. "Terus terang waktu itu kami belum merasa puas. Masuk, untuk merebut pulau segede Irian, hanya pakai infiltrasi kecil-kecilan" Sesudah mempelajari  berbagai kenyataan di lapangan, pimpinan Angkatan Darat agaknya ingin mengubah kebijakan. Mereka kemudian mempersiapkan tenaga infiltran dalam jumlah besar. Pada umumnya, pasukan tersebut beranggotakan putera  daerah, warga Irian yang sejak  dulu telah mendukung  Republik.

Muorsjid, perwira militer yang merintis karier dalam Divisi Siliwangi, menyatakan, "Sebagai Asisten Operasi KSAD, apa saya harus duduk dan Ongkang-ongkang di belakang meja? Saya juga harus tahu situasi lapangan. Dan apa kita tega melepas begitu saja pasukan yang sekian lama kita bina bersama? Maka untuk infiltrasi lawat laut kali ini, saya bersama Rocdjito sengaja  ikut berangkat, mencermati situasi dan untuk merancang program infiltrasi lanjutan..." Tanggal 9 Januari 1962 malam, dengan berlindung di balik kegelapan, satu demi satu empat MTB tersebut segera menyelinap keluar, meninggalkan pangkalannya di Tanjung Priok, Jakarta. Dengan gagah, Sudomo yang ketika itu baru saja dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel, selaku Komandan STC9, berdiri di anjungan RI Harimau , Pikirannya jauh melayang ke depan, membayangkan 2.000 mil laut rute pelayar   yang harus  ditempuhnya. Ke-empat kapal STC—9 ini sejak  awal memang dirancang untuk bergerak secara rahasia. Mereka menangani tugas infiltrasi, dengan demikian semakin banyak Orang tak tahu, semakin menguntungkan bagi misi yang sedang mereka laksanakan. Sementara itu, satu kompi pasukan putra daerah yang sudah dilatih, diberangkatkan pada tanggal 14 Januari dengan kapal terbang Herkules AURI, langsung dari Landasan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Ikut serta dalam pesawat yang sama Komodor Yos Soedarso, Kolonel Moersjid dan Letnan Kolonel Roedjito. 

KIBARKAN MERAH PUTIH
Selama pelayaran menuju  daerah sasaran, ke empat MTB berada pada kondisi Total  Black Out  dan  Radio Silence , mereka sama sekali tidak boleh  menggunakan  hubungan radio, di samping itu seluruh lampu kapal dipadamkan serta sejauh mungkin menghindari pertemuan  dengan kapal-kapal niaga. Satu-satunya lampu yang boleh dinyalakan, sebuah lampu kecil di bagian belakang kapal. lampu itulah pedoman arah bagi kapal yang kebetulan berada di belakangnya ," kata Kapten Sidhopramono, Komandan Marian Kumbang , alumnus AAL 1960. Kecuali merancang pelayaran SCT-9 dengan gerak melambung, menyusuri lebih dulu perairan Nusa Tenggara sebelum nantinya membelok ke arah timur laut ketika sudah mendekati daerah sasaran menyeberangi perairan Maluku, Sudomo juga  menetapkan tiga titik kumpul (rendezvous/RV) antara Jakarta sampai ke Maluku. RV pertama terletak di selat Madura, bertemu dengan RI Patimura. RV kedua di utara Flores dengan RI Rakata dan RV ketiga di dekat Pulau Udjir, Kepulauan Kai, Maluku. Lokasi rendezvous terakhir untuk bisa bertemu dengan RI Multatuli, sebelum masuk ke perairan Irian.

Ketiga titik pertemuan tersebut harus bisa ditemukan sendiri, karena di situlah kapal-kapal cepat torpedo harus mengisi tambahan bahan bakar. Selama pelayaran, musibah menimpa dua kapal, RI Matjan Kumbang. mengalami gangguan mesin, sehingga agak terlambat sampai di RV ketiga .sementara itu  RI Singa, tidak bisa mencapai RV ketiga, karena kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Dengan demikian akhirnya, meskipun tidak bersamaan, hanya tiga MTB bisa mencapai perairan PuIau Udjir,merapat ke Rl Multatuli  untuk menerima bahan bakar tambahan dan memuat para infiltran. "Kami mendarat dengari cara nekat' kata Kolonel  Moersjid. Ia merasa para penerbang Herkules AURI tampaknya mendarat dengan pedoman yang juga dalam situasi serba darurat. Mursjid menambahkan, "Dalam briefing awal di Jakarta, kami telah menerima penjelasan , landasan darurat di Pulau Langgur sudah selesai diperbaiki, sehingga bisa menampung pendaratan Herkules dengan nyaman. Tetapi setelah mendarat dengan suara gemuruh dan terbanting-banting, ketika keluar dari perut pesawat, yang kami temukan justru samak belukar setinggi manusia..."



Sesudah debarkasi pasukan selesai dilakukan di landasan darurat Pulau Langgur, para infiltran tersebut kemudian menyeberang  ke Pulau Udjir, tempat RI Multatuli membuang jangkar. Dengan cepat Herkules pengangkut pasukan segera terbang kembali pulang ke Jakarta. Menjelang  sore hari, tanggal 15 Januari , di atas RI Multatuli , Sudomo Komandan STC-9, memberikan briefing tentang rencana  operasi. Hadir lengkap ketiga komandan KCT. Kecuali itu juga ikut briefing Deputi Operasi KSAL Komodor Yos Soedarso, Asisten Operasi KSAD Kolonel Moesjid dan Letnan Kolonel Roedjito.

”Pangkat saya lebih yunior, tetapi karena saya komandan sayalah yang harus bertanggung jawab dalam keseluruhan operasi/begitu Sudomo mengenang situasi saat itu. Ketika menguraikan rencana operasi, Sudomo menatapkan mereka akan berangkat meninggalkan RV ke tiga ini tepat pada pukul 24.00 tengah malam. Kecepatan rata-rata kapal ditentukan 20 mil per jam. Ketiga kapal harus tetap berlayar total Black out dengan selalu dalam formasi 18 (kiellinie), bergerak berurutan. RI Harimau berada paling depan, RI Marian Tutul di tengah dan RI Marian Kumbang paling belakang."Ada pertanyaan? tanya Sudomo. 

Sudomo masih tctap bcrupaya agar Komodor Yos Soedomo tidak usah ikut berlayar. "Saya ingatkan tugas kita hanya mengantar para infiltran sampai di daerah sasaran. Tetapi sayang beliau tetap menolak. Malahan minta agar dirinya di satukan dengan unit infiltran, pasukan ini harus mencapai pantai Irian dengan memakai perahu karet . 

Atas pertimbangan tersebut, maka Sudomo kemudian menempatkan Yos Soedarso di Rl Matjan  Tutul  bersama para  infiltran. Sementara  dirinya dengan Moersjid dan Roedjito naik RI Harimau. Belakangan baru Sudomo tahu, keinginan Yos Soedarso untuk bisa ikut mendarat, didorong  oleh  tekadnya dalam memenuhi perintah Trikora dari Bung Karno. Khususnya bagian, kibarkan Bendera Merah Putih di bumi Irian. “beliau  sudah membawa bendera dari Jakarta untuk bisa ditancapkan di Irian. Selanjutnya, beliau  juga ingin mengambil sebongkah tanah Irian untuk di serahkan kepada Bung Karno.”

DIKUNTIT NEPTUNE BELANDA
Dengan haluan 000 derajat dan formasi 18, ketiga MTB tersebut dengan serentak meninggalkan RI Multutuli. Setiap kapal membawa 30 anak buah kapal dan sekitar 40 infiltran, putra daerah yang akan didaratkan di Irian untuk memulai perang gerilya. Para infiltran beristirahat di geladak, di sela-sela perahu karet. Inilah alasan utama mengapa Sudumo lebih dulu menerbangkan mereka ke dekat perbatasan dengan pesawat udara, tidak ikut berlayar dengan MTB. Karena secara teknis memang tidak mungkin, kapal-kapal torpedo tersebut mengangkut pasukan sebanyak itu, berlayar sejauh 2.000 mil laut. 

Gambar pesawat Neptune

Sudomo menengok ke belakang. Nampak matahari mulai tenggelam di batas cakrawala, sehingga pemandangan sekeliling semakin lama semakin suram. Dari geladak RI Multutuli, yang terlihat hanya bayangan tiga kapal melaju dengan cepat, seakan-akan timbul tenggelam di antara gelombang laut Arafuru. "Laut sekeliling kami hitam pekat, malam itu bulan tak muncul di langit, mata kami semua memandang tajam ke arah radar, " kata Sidhoparcmo, Komandan RI Matjan Kum bang. MTB tersebut berada paling belakang, satu-satunya kapal yang tatap boleh menyalakan radar, karena bertugas sebagai KapaL Jaga Operasi (KIO). Sewaktu Jam menunjukkan pukul 19.30, Sudomo lewat radio walkytalky mengarahkan haluan konvoi untuk menuju 059 derajat. Inilah arah paling singkat untuk mencapai Vlakke Hoek, daerah tujuan yang terletak di pantai sebelah timur Sungai Aiduna.

Iring-iringan ke tiga MTB di Laut Arafuru ini agaknya tidak merasa, sejak pukul 20.25, mereka sebenarnya telah terdeteksi dari udara oleh Letnan H. Muckar danoe, yang sedang berpatroli dengan pesawat Neptune. "Jarak pada saat itu lebih kurang sekitar 60 mil dari Vlakke Hoek," kata Mockardanoe, keturunan Indonesia yang menjadi warga negara Belanda dan masuk dalam dinas militer Kuninklijkc Marine (KM), Angkatan Laut Kerajaan. Dengan tangkas mereka langsung mengirim tanda bahaya dini kepada Hr. Ms. Eversten, Hr. Ms. Kortenaez dan H1. Ms. Utrecht yang juga sedang berpatroli di perairan setempat. Pukul 2.1,45 pesawat Neptune tersebut mulai mengambil posisi siap menyerang. Untuk menerangi sasaran, mereka lebih dulu menembakkan flare (roket suar)

Sayang sekali flare tesebut tidak menyala, sehingga roket juga tidak jadi di tembakkan Pada saat itulah RI Marjan Kumbung schagai kapal jaga melaporkan kepada Rl Harimuu yang berada paling depan, mengenai adanya sebuah pesawat terbang yang melintas di atas konvoi. Secara bersamaan dilaporkan pula bahwa radar Matjan Kumbang telah mendeteksinya  2 echo pada baringan 070 derajat, dalam jarak sekitar 9 mil. "Saya segera mengambil teropong, saya telusuri cakrawala sesuai informasi dari Matjan Kumbang. Memang benar mulai terlihat siluet kapal perang Belanda di arah lambung kanan dan satu lagi di lambung kiri, Dengan gampang bisa kita kenali jenisnya, yang di lambung kanan adalah sebuah fregat dan sebuah kapal perusak (destroyer) kelas Holland, mclihat cerobong muka yang bagian atasnya ada lekuk ke belakang. Dan di lambung kiri ada satu freget lagi," kata Sudomo. Terlihatnya tiga kapal musuh tersebut langsung diinformasikannya kepada Mocrsjid, yang berada di R1 Harimau. Mereka kemudian tahu, kapal tersebut masing-masing adalah Hr. Ms. Evcrstcn, Hr. Ms. Kortznucr dan kapal ketiga Hr. Mx. Utrecht, “Saya berkesimpulan, keberadaan kapal kita tclah diketahi oleh musuh. Misi ini tak bisa dilanjutkan, harus dibatalkan. Tak pernah ada perintah operasi untuk menyerang Belanda, apalagi karena kita tidak punya senjata utama torpedo. . ,." Persenjataan tidak  seimbang, freget dan destroy Belanda memiliki meriam 4,7 inci (12 cm) sebagai senjata utama, sedangkan KCT kita hanya memiliki senjata 40 mm dan 12,7 mm untuk menangkis serangan udara. 

KONTAK SENJATA PUN PECAH
Pukul 21.50 Sudomo memerintahkan ketiga MTB putar haluan menuju arah 239 derajat dan menghindar secepat-cepatnya; untuk bisa kembali ke pangkalan , untuk bisa kebali ke pangkalan. Nyaris secara serentak, ketiga kapal tersebut cikar kanan, menuju haluan 239 derajat. RI Harimau dengan kecepatan tinggi melampaui lambung kiri Matjan Kumbang, merubah  haluan ke 239 derajat. Tetapi  sementara itu, dengan mengejutkan, Matjan Tutul Justru memakai kekuatan penuh, lewat sebelah  kanan Matjan Kumbang dan malahan langsung mengambil haluan 329 derajat. Haluan ini justru mengarah ke posisi Hr. Ms. Eversten. "Saya juga segera memerintahkan, kapal untuk langsung cikar kanan, sesuai perintah komandan STC-9, tetapi mendadak kemudi macet. Akibatnya kapal tak bisa ke depan, tetapi langsung berputar membuat lingkaran besar. Dalam situasi kritis ini, saya sangat terkejut, ketika justru disalip oleh Marian Tutul dengan cepat kata Sidhoparomo, Matjan Kumbang baru bisa mengarah ke haluan yang benar, 239 derajat, setelah mereka memanfaatkan kemudi darurat di buritan kapal. Serangan yang kedua oleh Neptune di ulang pada pukul 22.02. 

Tembakan peluru suar menerangi seluruh cakrawala, dilanjutkan dengan tembakan roket mengarah ke formasi STC-9, tetapi tidak ada yang mengenai sasaran. Tiga menit kemudian, begitu melihat bayangan pesawat terbang di atas formasi "saya langsung perintah tembakan ke sasaran" kata Sidhopramono. Kedua meriam penangkis serangan udara 40 mm dan kedua senapan mcsin 12,7 cm menyalak serentak. Pada pukul 22.07Ev.e1ste11 pertama kali memuntahkan peluru Mariam 12 cm kepada Marian Tutul karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan 329 derajat  yang mengarah kepadanya. 

Gambar Komodor Yos Sudarso 
Deputi I Angkatan Laut RI


Pukul 22.08 terdengar lewat radio, perintah legendaris dari Komodor Yos Soedarso, "KOBARKAN SEMANGAT PERTEMPURAN".

Serentak dengan itu, tembakan dari kedua  senjata 40 mm Marian tutul di arahkan langsung ke Hr. Ms. Eversten. Tembakan yang memang sia-sia, karena letak sasaran berada jauh di luar jangkauan. Nampaknya pada saat itu, Yos Soedarso sudah mengambil alih pimpinan Matjan Tutul dari tangan Kapten Wiratno. 


Pukul 22.10, sebuah tembakan Eversten tepat mengenai buritan Matian Tutul. Terjadi  kebakaran kecil yang segera berhasil dipadamkan. Saat itu Matjan Tutul berganti haluan ke kiri, mengarah 239 derajat . Melihat manuver tersebut, Eversten juga putar haluan ke kanan, ke haluan sejajar 239 derajat sambil terus menghujani Mutfzm Tutul dengan tembakan Mariam 12 cm. 

Pukul 22.30, tembakan tepat kedua dari Eversten mengenai bagian tengah Matjan Tutul. Kapal terlihat meledak, penumpangnya berhamburan di antara kobaran api yang sangat besar. 

Pukul 22.35, tembakan Eversteen sekali lagi tepat kena anjungan Marian Tutul Kapal tersebut berhenti bergerak, dan pukul 22.50 mulai tenggelam ke dasar laut. Sepuluh menit kemudian, Eversten melanjutkan pengejaran dan terus menghujani Harimau dengan siraman  tembahan selama satu jam. Untung, tak satu pun peluru kena sasaran. "Saya alumni sekolah Altileri Angkatan Laut Belanda Angkatan Laut Belanda , Kursus pengendalian tembakan  (Vuurleider Cursus). Maka saya tahu bagaimana caranya menghindari tambakan artileri kapal Belanda. Sampai akhirnya pada sekitar pukul 23.45, Everstcn tak lagi melakukan pengejaran..." Saat itu pula Sudomo dengan  sigap segera mengirim kawat ke MBAL di. Jakarta. Ia memohon agar pihak MBAL secepatnya meminta bantuan MBAU untuk mengirim pesawat pembom AURI. "Saya minta mereka membom saja kapal-kapal Belanda yang sedang mengejar tersebut, karena jelas mereka semua sudah masuk ke dalam wilayah teritorial perairan Indonesia" Menurut Men/Pangal Martadinata kawat tersebut memang sampai ke Jakarta dan diteruskan ke MBAU, namun tampak-nya Angkatan Udara ada kesukaran teknis operasional untuk dapat memenuhi permintaan yang sifatnya mendadak dan tidak terencana sebelumnya.

PENJELASAN  AHMAD YANI
Pukul 22.10, tembakan pertama meriam 12 cm dari Kortaner mulai menghujani Matjan Kumbang. "Posisi kami sangat sulit, sekitar satu jam kami dihujani tembakan. Tetapi, setiap kali ada peluru jatuh di sebelah kanan, justru ke sana kapal saya arahkan,Begitu tembakan musuh jatuh ke kiri kapal, ke arah itu pula arah kapal saya".

Taktik menghindar dari serangan sebagaimana telah diperlihatkan Matjan Kumbang, ternyata membuahkan basil. Meskipun kapalnya ditembaki oleh Kortaner  hanya dari jarak sekitar lima mil, terbuktu RI Matjan  Kumbang berhasil lolos. Terlebih lagi setelah Sidhopramono dengan nekat membawa kapalnya  menembus masuk ke Laut karang ke dalaman tiga meter. Kortaner tak lagi  herani mengejar . "Sudah saya duga, sesuai dengan ukuran kapalnya, mereka pasti memerlukan kedalaman laut yang jauh di atas tiga meter. Sehingga mereka pasti tak akan berani mengejar", kata Sidhopramono. 

Pertempuran laut antara ketiga MTB Indonesia dengan dua kapal perang Belanda yang dibantu oleh pesawat terbang Neptune, memang berlangsung dahsyat. "...saya justru menilainya cantik, penuh bunga api wama-wami dengan latar belakang langit hitam pekat. Kecuali itu, berlangsung sebagai layaknya pertarungan antar gentlemean, jelas saling berhadaphadapan. Tidak sebagaimana pertempuran di darat, kedua pihak saling  bersembunyi sehingga sama sekali tak nampak batang hidungnya' kata Mursjid mengenang pertempuran tersebut. Di Jakarta keesokan harinya, tanggal 16 Januari, Presiden/Panglima Besar Komando Pembebasan Irian Barat mengadakan Sidang luar biasa untuk membahas insiden Laut arafuru. persidangan tersebut dihadiri oleh semua Kepala Staf Angkatan dan seluruh Staf Operasi Pembebasan Irian Barat.

Sesudah satu seperempat jam bersidang, Kolonel Achmad Yani, juru bicara Staf Operasi Pembebasan Irian Barat, menjelaskan kepada pers, "Tidak benar Indonesia bermaksud mencoba melakukan invasi." "Tidak benar Indonesia bermaksud mengadakan pendaratan Itu sudah tidak mungkin, kalau melihat tipe kapalnya saja. MTB bukan imbang terhadap kapal-kapal perusak yang dikerahkan oleh Belanda. Kalau kita mau menyerang, tentu kekuatan yang kita kerahkan paling tidak mesti seimbang dengan apa yang mereka ajukan..." Achmad Yani juga mengakui pada kesempatan itu, sebuah kapal Cepat torpedo kepunyaan ALRI telah ditenggelamkan oleh pihak Belanda.


Komando Angkatan Laut Belanda di Hollandia, Irian, pada hari yang sama juga mengeluarkan pengumuman, "Kapal-kapal perang Indonesia yang dengan kecepatan tinggi sedang menuju ke pantai Irian telah melepaskan tembakan kepada kapal-kapal Belanda. Dalam pertempuran yang kemudian dengan cepat berlangsung, sebuah Kapal Cepat Torpedo (KCT) Indonesia terbakar ‘Kapal-kapal Belanda berhasil menangkap awak kapalnya yang mencoba menyelamatkan diri dalam sebuah sekoci pendarat karet, jumlah orang Indonesia yang tertangkap itu dua kali lebih besar dari jumlah awak kapal yang normal diperlukan bagi sebuah kapal cepat torpedo. Normal awak kapal jenis tersebut adalah 20 sampai 30 orang. Tetapi agaknya, MTB Indonesia mengangkut 70 sampai 90 orang. Hal ini menunjukkan pihak Indonesia sedang berusaha melakukan pendaratan di pantai Irian.  

Petang harinya Radio Australia memberitakan, Belanda menawan 50 prajurit Indonesia dalam pertempuran itu, kapal-kapal perang Belanda mulai menembak suatu formasi kapal-kapal Indonesia yang sedang bergerak di perairan teritorial Belanda, di arah selatan Irian." Berita dari Den Haag, Negeri Belanda, yang dilaporkan oleh Kantor Berita Belanda DPA melukiskan, meluasnya perasaan khawatir dengan kenyataan, kapal-kapal Belanda telah melepaskan tembakan lebih dulu. (Dicuplik dari buku LAKSAMANA SUDOMO Mengatasi Gelombang Kehidupan , 1997, Jenlius Pour , Angkasa tulis ulang by Rixco-)

Pertempuran Surabaya, 10 November 1945..


“Tidak ada pertempuran yang dilancarkan Republik yang dapat disebandingkan dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun kegigihannya” (David Welch dalam Birth of Indonesia, hal. 67)

23 September 1945

Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda adalah wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di Surabaya untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan dan ini mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris ketika mengambil alih Semarang.

28 September 1945

Huijer mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Surabaya, agar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana sikap kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh karena itu ia menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya kepada sekutu pada waktunya.

Tetapi KNI-Surabaya tidak memiliki kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas tentara angkatan laut Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.

1 Oktober 1945

Terjadi perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat berubah menjadi aksi massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp interniran yang terletak di daerah pemukiman Darmo. Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan mesin.

4 Oktober 1945

Surabaya telah menjadi kamp bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam kota itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.

8 Oktober 1945

Gubernur, TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan (Jepang, khususnya) dengan melakukan hukuman mati dengan cara pemenggalan leher.

Kapten Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.

12 Oktober 1945

Tiba seorang pemuda dari Jakarta yang bernama Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Domei. Ia membawa gagasan mendirikan pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana untuk menciptakan solidaritas massa dan memperbesar semangat perjuangan pemuda.

13 Oktober 1945

Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil mempengaruhi masyarakat santri yang memang menjadi mayoritas di Jawa Timur dan Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.

22 Oktober 1945

Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia soepaja menentukan soeatoe sikap dan tindakan jang njata terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)

25 Oktober 1945

Inggris mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan tugas utama mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.

Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo, kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas aktivis Gerindo, yang mewakili TKR Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo, Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).

26 Oktober 1945

Tanpa data intelejen yang komprehensif tentang kondisi Surabaya dan masyarakatnya yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.

Kondisi diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu intinya berisi bahwa pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan seperti ini akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan Moestopo.

27 Oktober 1945

Sekutu mulai melakukan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan mendapatkan julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di hutan-hutan Burma.

28 Oktober 1945

Pasukan sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting seperti kantor jawatan kereta api, pusat telephon dan telegraf, rumah sakit Darmo dna lainnya.

Pertempuran besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan pemuda Indonesia. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.

Begitu terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.

29 Oktober 1945

Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedddin datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.

Kemudian setelah membujuk agar tentara dan pemuda menghentikan pertempuran, mereka bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya seperti Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo melakukan perundingan dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya adalah tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara Indonesia setuju mengizinkan interniran lewat secara bebas diantara kedua sektor itu.

Setelah melakukan perundingan, Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang dan menganggap kekerasan sudah berakhir.

30 Oktober 1945

Sewaktu melakukan patroli, mobil Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang akhirnya membuat mobil jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.

Kematian Jenderal Inggris itu menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya. Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) memberikan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.

1 November 1945

Kapal perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama minggu berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.

9 November 1945

Dengan semua para interniran (sandera) berhasil dibawa pulang, Inggris mulai melakukan aksi balas dendamnya atas kematian Mallaby. Seperti yang diceritakan Idrus,

“Sedjak beberapa hari sekoetoe mendaratkan serdadoe2 lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank itu toeroen dari kapal seperti malaikal maut toeroen dari langit; diam2 dan dirahasiakan oleh orang jang menoeroenkannja” (Soerabaja, hal. 137)

Mansergh mengeluarkan ultimatum agar seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan supaya orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan. Ultimatum itu disebarkan melalui udara ke seluruh kota.

Selain itu Mansergh secara eksplisit memperingatkan bahwa semua anak-anak dan wanita harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam itu dan memberikan ancaman hukuman mati bagi setiap orang Indonesia yang membawa senjata sesudah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.

Mendengar ultimatum itu para pemimpin Surabaya menelpon Jakarta untuk memperoleh keputusan tingkat nasional mengenai jawaban apa yang harus diberikan terhadap ultimatum Mansergh. Akan tetapi, baik Soekarno maupun Soebardjo (Menteri Luar Negeri) menyerahkan keputusan itu terhadap masyarakat Surabaya.

Jam 6 sore, elemen TKR dan pemuda menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang isinya,

Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD

Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, ikhlas berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!

Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945

Ttd

(1)   TKR Kota
(2)   PRI
(3)   BPRI
(4)   TKR Sidoardjo
(5)   BBI
(6)   TKR Laut
(7)   TKR Peladjar
(8)   P.I.
(9)   BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11)  TKR Djombang
(12) dll

Dan setelah melakukan diskusi yang cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada di Surabaya, pada jam 23.00 malam Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan.

10 November 1945

Pada pukul 06.00 Inggris memulai serangannya, sementara itu Bung Tomo memanggil seluruh rakyat melawan penyerbu-penyerbu itu. Pemboman besar-besaran dari laut dan udara membinasakan sebagian besar Surabaya. Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota.

Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock.

David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),

“Di pusat kota pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.

Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”

Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Para pejuang Indonesia yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.

Menurut Ricklefs (2008) sedikitnya ada 6000 rakyat Indonesia yang gugur. Meski pihak republik kehilangan banyak tentara dan pemuda, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah menciptakan lambang dan pekik persatuan demi revolusi.

Pustaka :
(1)   Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan. Irna H.N. Grasindo. 1994.
(2)   Revolusi Pemuda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
(3)   Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.

Semoga Bermanfaat.