Kamis, 15 Desember 2011

Nama Para Ulama Aceh...


  1.  Teungku Di Lueng Keueng
  2.  Abunek Krueng Kale
  3.  Teungku Gle Payong
  4.  Teungku Keuneu’eun
  5.  Teungku Di Anjong
  6.  Teungku Di  Li -eue
  7.  Teungku Lam Bhuek
  8.  Teungku Di Jurong
  9.  Teungku Lam Gut
  10.  Teungku Di Bitai
  11.  Teungku Gle Weueng
  12. Teungku Di Reuloh
  13.   Teungku Di Blang
  14.   Teungku Di Meugong
  15.   Teungku Di Jabo
  16.   Tuwan Di Pulo
  17.   Teungku Lhok Pawoh
  18.   Teungku Lhok Nibong
  19.   Teungku Di Pu-uek
  20.   Teungku Di Meuse
  21.   Teungku Syekh Saman
  22.   Syiah ‘Abdurrauf ( halaman 19 – 20 )
  23.    Teungku Di Ulee Gle
  24.    Teungku Awe Geutah
  25.     Teungku Batee Badan
  26.     Teungku Ulee Jurong ( sama dgn no. 8 di atas?)
  27.     Teungku Di Bathoh
  28.     Teungku Di Peulumat
  29.     Teungku Pante Peulumat
  30.     Teungku Tanoh Mirah
  31.     Teungku Tanoh Abee
  32.     Teungku Gunong Ijo
  33.      Teungku Di Baet
  34.     Teungku Bak Keureuma
  35.     Teungku Di Cot Bak Goeh
  36.    Tuwan Di Cantek
  37.     Teungku Salah Nama
  38.      Teungku Anoe Manyang
  39.      Tuwan Pulo Angkasa
  40.      Teungku Paya Duwa
  41.      Teungku Di Gandrien
  42.      Teungku Lam Guha
  43.      Teungku Lam Duson
  44.      Teungku Syik Krueng Kale
  45.       Teungku Batu Bara
  46.       Teungku Di Aron    
  47.         teungku Syekh Abbas Kuta  Karang 
 48.        Teungku Muhammad Amin Dayah Cut
 49.        Teungku Zainul Abidin
 50.        Teungku Di Cot Plieng
 51.        Teungku Pante Kulu
 52.        Teungku Pante Ceureumen/Teungku Nyak Kob
 53.        Tuwanku Raja Keumala

Sejarah Gunung Leuser....

   Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemuka-pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.

   Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.

   Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan "Deklarasi Tapaktuan", yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 ((Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik padana penjara maupun pidanya denda). Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut : "Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke', labuhan Hadji, Manggeng, Lho' Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang"

   Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.

   Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.

Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.

Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 166/Kpts/Um/3/1982, tanggal 3 Maret 1982 tentang Perubahan Status sebagian Suaka Margasatwa Kappi seluas 7.200 ha dan Penunjukan sebagian hutan Serbolangit seluas 2.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara,Daerah istimewa Aceh sebagai Hutan Wisata Lawe Gurah.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha yang merupakan gabungan SM Langkat Selatan dan Barat, SM Sekundur, dan Taman Wisata Sekundur. Serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar yang merupakan gabungan SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Kappi dan Taman Wisata Lawe Gurah.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 46/Kpts/VI-Sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional, tanggal 11 Desember 1984, disebutkan bahwa Wilayah Kerja TNGL adalah: Suaka Margasatwa (SM) Gunung Leuser, SM langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, Taman Wisata Lawe Gurah, Taman Wisata Sekundur, Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala. Pada tahun 1984 tersebut juga telah ditetapkan Unit Pelaksana Teknis Pengelola TN. Gunung Leuser dengan kantor Pusat di Kutacane, Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh.

Sejak tanggal 12 Mei 1984, dengan diterbitkannya SK Menhut Nomor: 096/Kpts-II/1984 menetapkan TNGL merupakan unit Dirjen PHPA yang tingkatannya disamakan dengan eselon III. UPT ini dipimpin oleh seorang Kepala UPT-TN yang bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA dan membawahi Sub Bagian TU dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi penyusunan Program dan Seksi Pemanfaatan, dilengkapi dengan Kelompok Tenaga Fungsional Konservasi. Ternyata ketentuan struktur organisasi tersebut masih sukar diterapkan dalam pelaksanaan pengelolaan TNGL karena wilayah kerja kawasan TN ini relatif sangat luas.

Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses penngukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan: Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 hektar), Suaka Margasatwa Kluet (20.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 hektar), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 hektar), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 hektar), Taman Wisata Gurah (9.200 hektar), Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas (292.707 hektar).

Pada perkembangan selanjutnya, pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, Kepala UPT-TN (Balai TN) membawahi Kepala Sub Bagian TU dan Kepala Seksi Wilayah, selain juga Kelompok Jabatan Fungsional. Saat ini wilayah TNGL terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane...

Sejarah tentang Aceh Tenggara....

    Paru-paru dunia ada di Kabupaten Aceh Tenggara. Pernyataan ini tidak berlebihan, karena Aceh Tenggara menjadi salah satu pemilik kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan seluas 1.094.692 hektar ini masuk dalam wilayah beberapa kabupaten, yaitu Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Langkat (Provinsi Sumatera Utara).
Taman nasional memiliki keistimewaan keanekaragaman flora dan fauna. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora termasuk tanaman langka Raflesia atjehensis dan Johanesteinimania altifrons (pohon payung raksasa) serta Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka, dan dilindungi, dengan diameter 1,5 meter. Ada sekitar 130 jenis mamalia dengan hampir tiga perempatnya termasuk jenis langka.
Untuk menjaga kelestarian flora dan fauna kawasan taman nasional ini, Masyarakat Uni Eropa ikut mendukung pelestariannya. Mereka berkepentingan. Ibarat paru-paru yang sehat, demikian pula kawasan taman nasional dapat menyehatkan dunia.
Sejak tanggal 10 April 2002 kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002. Peluang menggali potensi pariwisata dari taman nasional lalu mesti dibagi di antara keduanya. Aceh Tenggara sebagai kabupaten induk tidak terlalu kehilangan peluang untuk menggali potensi taman nasional ini.
Kutacane yang menjadi ibu kota kabupaten menjadi salah satu pintu masuk kawasan taman nasional. Dengan hanya menempuh perjalanan setengah jam, akan dapat ditemui Ketambe, stasiun penelitian flora dan fauna, di pinggir Sungai Alas. Taman Wisata Lawe Gurah memiliki panorama alam, sumber air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuhan seperti orang utan, kupu-kupu, dan bunga rafflesia.
Selain itu, penggemar olahraga arung jeram dapat menjajal keganasan Sungai Alas yang mengalir menuju Kabupaten Aceh Selatan. Sambil mengarungi Sungai Alas ini, penggemar rafting akan disuguhi kesegaran air sungai, panorama keindahan alam hutan tropis Aceh, dan perkampungan rakyat tradisional.
Namun, bukan hanya pariwisata yang bisa dijadikan andalan Kabupaten Aceh Teng-gara. Lapangan usaha pertanian pun masih menjadi andalan. Tahun 2000, sebelum pemekaran terjadi, Kabupaten Aceh Tenggara mempunyai total kegiatan ekonomi sekitar setengah trilyun rupiah. Sepertiga lebih disumbang oleh pertanian tanaman pangan.
Kondisi geografis Kabupaten Aceh Tenggara landai. Karena itu, pertanian tanaman pangan cocok dikembangkan. Kenya-taannya setelah pemekaran, 60 persen lahan padi sawah tetap berada di Aceh Tenggara.
Sebelum pemekaran, Kabupaten Aceh Tenggara dikenal sebagai penghasil tembakau. Sampaisampai dalam logo kabupaten dicantumkan gambar daun tembakau. Namun, sa-yang, kebanggaan sebagai penghasil tembakau kini mesti direlakan untuk disandang Ka-bupaten Gayo Lues. Kecamat-an penghasil tembakau seperti Terangon, Rikit Gaib, Blang-kejeren kini masuk wilayah Kabupaten Gayo Lues.
Masih ada produk perkebunan lain yang dapat diandalkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2000, daerah ini memiliki produk unggulan seperti kopi, kelapa sawit, gambir, cengkeh, pala, cokelat, dan lada. Walaupun masih kalah jauh oleh produksi kopi Aceh Tengah, daerah ini menyimpan potensi untuk pengembangan kopi. Pada tahun 2000 produksi kopi, setelah dikurangi wilayah pemekaran, tercatat 2.600 ton, dengan luas areal 3.011 hektar. Tanaman kopi sebagian besar berada di Kecamatan Badar, Lawe Sigala-Gala, dan Lawe Alas. Tujuh puluh persen lahan kopi ada di kabupaten induk.
Sebelum pemekaran, produksi kemiri Aceh Tenggara yang terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah 13.328 ton dengan luas areal 15.322 hektar. Setelah pemekaran, kekayaan ini harus dibagi dengan Kabupaten Gayo Lues. Hampir 50 persen lebih luas areal perkebunan kemiri kini menjadi milik Kabupaten Gayo Lues. Produksi karet rakyat masih terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tenggara. Sebaran kawasan perkebunan karet ini sebagian besar di Kecamatan Badar dan Darul Hasanah.
Kondisi topografi Aceh Tenggara yang bergunung-gunung menjadi salah satu penghalang kelancaran transportasi dan komunikasi. Lokasi yang tidak terjangkau oleh kendaraan umum bisa ditempuh dengan berkuda. Biasanya bila ingin pergi dari Banda Aceh ke Kutacane, orang lebih suka lewat Kota Medan-daripada lewat Aceh Tengah atau Gayo Lues yang kondisi medannya bergunung dan penuh hutan. Sarana komunikasi seperti telepon pun masih sering terganggu sehingga komunikasi ke daerah ini mengalami kesulitan. . . .

Rabu, 14 Desember 2011

Riwayat hidup Maimun Saleh....

Maimun Saleh lahir 14 Mei 1929. Dia putra kedua dari lima bersaudara pasangan Tgk HM Saleh dan Aisyah, yaitu Tgk Hasballah, Maimun Saleh, Abasyah, Hadisyah dan Tgk Faisal. Maimun Saleh menempuh pendidikan di sekolah Taman Siswa dan sekolah menengah Islam di Koetaradja (sekarang Banda Aceh). Tahun 1949 Maimun diterima menjadi murid penerbang di Koetaradja. Pada 1950 dia dipindahkan ke sekolah penerbang di Kalijati Jawa Barat, dan 1 Februari 1951 berhasil memperoleh ijazah sebagai penerbang kelas 3.

Setelah itu, Maimun Saleh masuk Skuadron IV (pengintai darat) dan turut serta dalam semua operasi yang dijalankan oleh skuadron ini. Namun maut tak dapat disangka. Pada Jumat, 1 Agustus 1952, Sersan Maimun Saleh yang sedang menerbangkan pesawat intai Auster IV-R-80 mengalami kecelakaan di Pangkalan Udara Semplak Bogor pukul 09.25 WIB. Maimun gugur dalam kecelakaan itu.

Atas prakarsa Teuku Syahril, pembangunan monumen pesawat tempur di atas tugu Maimun Saleh, selain untuk mengenang jasa penerbang pertama dari Aceh, juga sebagai bentuk terima kasih dan ikatan batin antara Angkatan Udara dan masyarakat Aceh. Ini juga terkait dengan jasa masyarakat Aceh yang menyumbangkan pesawat terbang pertama RI-001 Seulawah kepada Indonesia sebagai modal awal saat Indonesia baru merdeka.

Prosesi peletakan pesawat tempur Hawk-200 di atas Tugu Maimun Saleh dilakukan Januari 2008, dan dipimpin Danlanud SIM, Letkol Pnb Fachri Adami.

Menurut Fachri, pesawat tempur yang dijadikan monumen itu pesawat asli, bukan replika, termasuk empat amunisi yang terdapat di atas sayap pesawat. Hanya saja, pada amunisi itu detonator dan peluru ledakannya tidak dipasang lagi.

Jet tempur itu sendiri sebenarnya sudah dibawa ke Aceh pada 2003, setelah pesawat mengalami kecelakaan saat melakukan penerbangan di Pekanbaru, Riau. Dalam kecelakaan itu beberapa bagian badan pesawat retak dan tak bisa diterbangkan lagi.

Masyarakat Aceh patut berbangga hati, karena satu-satunya daerah yang menerima pesawat tempur untuk dijadikan monumen adalah Aceh. Dengan demikian Aceh sekarang memiliki tiga monumen pesawat, yaitu monumen pesawat RI-001 Seulawah di Blang Padang (Banda Aceh), monumen pesawat tempur Hawk-200 di Tugu Maimun Saleh, dan pesawat jenis A4 SkyHawk TT-0435 buatan Amerika dari Skuadron 11 Makassar yang sekarang ditempatkan di apron Lanud Iskandar Muda Blang Bintang, Aceh Besar sebagai monumen kedirgantaraan.

Boieng 747 mendarat di bandara sim saat ibadah haji...


EMBUN masih bergayut di dedaunan saat jumbo jet Boeing 747-400 mendarat mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar, Minggu pagi, 9 Oktober 2011. Kedatangan pesawat yang sering dijuluki Queen of the Skies (ratu langit) itu disambut haru oleh pengelola bandara, bahkan di antara mereka terlihat ada yang mengucurkan air mata. 

Kagum dan bangga juga memancar dari ratusan pasang mata warga, termasuk keluarga jamaah calon haji (JCH) yang menatap kedatangan burung besi raksasa itu dari ruang-ruang terbuka di luar area utama bandara. 

Memang, ada nuansa yang agak beda di Bandara SIM pada Minggu pagi kemarin. Sejak lepas subuh, pengelola bandara (PT Angkasa Pura II) bersama keluarga besarnya terlihat sibuk melakukan proses finishing untuk sebuah seremonial penyambutan pendaratan perdana Boeing 747-400 di bandara kebanggaan masyarakat Aceh tersebut. Persiapan juga termasuk penyediaan perangkat adat peusijuek (tepung tawar) sebagai lambang kesuksesan dan harapan untuk menuai keberkahan Ilahi.

Prosesi seremonial semakin terasa manakala sejumlah pejabat daerah ini, di antaranya Sekda Aceh Teuku Setia Budi bersama jajarannya, Unsur Muspida Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh serta Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Badruzzaman Ismail SH MHum ikut bergabung bersama keluarga besar Bandara SIM. Mereka berkumpul membentuk formasi penyambutan tamu di area appron bandara. 

Di keremangan pagi itu, tiba-tiba terdengar gemuruh di langit utara bandara. Semua mata spontan tertuju ke sumber suara yang tak lain adalah sosok pesawat Boeing 747-400 yang sedang mengarah turun untuk landing di Bandara SIM. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 06.55 WIB, roda pesawat menyentuh mulus ujung runway 17. Tanpa hambatan ‘sang putri langit’ meluncur ke selatan (runway 35), berbelok ke taxi way dan parkir sempurna di appron. Tepuk tangan diiringi rasa syukur mewarnai detik-detik mendebarkan itu.

Keberhasilan penerbangan perdana pesawat B747-400 ke Bandara SIM dalam rangka memenuhi angkutan JCH Aceh 2011 (kloter tambahan) memiliki arti tersendiri bagi daerah ini. Ini juga tidak lepas dari perjuangan Pemerintah Aceh bersama seluruh masyarakatnya yang berharap agar semua JCH Aceh bisa diberangkatkan/dipulangkan via Bandara SIM.

Bagi pihak pengelola Bandara SIM, keberhasilan itu juga sebagai bentuk pengakuan bahwa bandara tersebut memang layak didarati pesawat sejenis B747-400 karena semua persyaratan pendukungnya sudah terpenuhi. 

Selama ini ada kesan kita dikucilkan. Kami berusaha dengan sekuat tenaga untuk memenuhi berbagai ketentuan yang dipersyaratkan. Alhamdulillah, akhirnya kita membuktikan mampu dan insya Allah kita sudah memiliki persyaratan menuju bandara world class,” ujar seorang staf PT Angkasa Pura II yang mengelola Bandara SIM. “Peran aktif dan bantuan masyarakat untuk ikut menjaga bandara ini sangat diharapkan agar kepercayaan yang telah kita dapat dari regulator bisa terus dipertahankan
,” lanjut staf tersebut. 










Selasa, 13 Desember 2011

Kesultanan Aceh.

   Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Sultan Aceh merupakan penguasa/raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat sultanah (sultan perempuan).
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
* Tengku
* Tuanku
* Pocut
* Teuku
* Laksamana
* Uleebalang
* Cut
* Panglima Sagoe
* Meurah
Segala Hal Tentang Kerajaan Aceh
* Dalam
* Istana Darut Donya
* Cap Sikureung (cap sembilan)
* Meuligoe
* Gajah Putih
* Pasukan Gajah

Kisah Sultan Iskandar Muda Menyerang Portugis Ke Malaka.

Hikayat Malem Dagang :
Kisah Sultan Iskandar Muda Menyerang  Portugis ke  Malaka
Oleh : T.A. Sakti
Hikayat Malem Dagang adalah syair kepahlawanan Aceh. Isinya mengisahkan penyerangan Sultan  Aceh Iskandar Muda terhadap Portugis yang berkuasa di Malaka. Kerajaan Malaka ditaklukkan Portugis pada tahun 1511 M. Sultan Malaka dan keturunannya yang menyingkir; akhirnya mendirikan kerajaan Johor. Sekarang: Malaka dan Johor; keduanya merupakan dua negara bagian/provinsi  di Malaysia.
Adanya penyerangan Aceh terhadap Portugis  di Malaka adalah kenyataan sejarah, baik sebelum masa Sultan Iskandar Muda maupun disaat beliau berkuasa. Dalam disertasi sejarawan Perancis Denys Lombard; yang telah diterjemahkan,”Kerajaan Aceh -Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) juga dimuat daftar penyerangan Aceh ke Malaka, yaitu pada tahun : 1537,1547,1568,1573,1575,1582,1587,1606-Portugis menyerang Aceh dan benteng-benteng mereka masih bersisa di Krueng Raya-,1613,1615 – Aceh menyerang Johor, karena membantu Portugis-,1617- Aceh menyerang Pahang,karena bersekutu dengan Portugis,1623,dan tahun 1629 Masehi.  Fakta sejarah ini amat sedikit disinggung dalam sumber-sumber tertulis Aceh sendiri. Diantara yang secuil itu, Hikayat Malem Dagang-lah satu-satunya, walaupun sebutan Portugis tidak satu kali pun dicantumkan di dalamnya. Sementara dalam Hikayat Prang Peringgi(artinya, Hikayat Perang Portugis); sama sekali tidak menyinggung data-data sejarahnya,kecuali semangat jihad saja.
Karena Hikayat Malem Dagang (buat selanjutnya disingkat dengan HMD) bukanlah kitab/buku sejarah, maka muncullah beragam hasil analisis tentang para pelaku dalam kisah itu. Begitu pula mengenai waktu dan lokasi dalam cerita tersebut. Masalah pendapat-pendapat para pengkaji hikayat itulah yang diperbincangkan dalam tulisan ini.     Sejauh yang saya ketahui, bahwa  Dr. Snouck Horgronje adalah pengkaji paling awal mengenai HMD. Dalam bukunya yang sudah diterjemahkan “Aceh di Mata Kolonialis, jilid II; Snouck Hurgronje mengatakan HMD disusun tidak lama setelah peristiwa itu terjadi, yakni masih di abad ke 17 M.  Agaknya, naskah yang dikaji Snouck Hurgronje merupakan salinan-ulang yang oleh penyalinnya telah disesuaikan isinya dengan kondisi Aceh saat itu. Kata Snouck: diseluruh hikayat disebutkan bahwa  Raja Si Ujud yang dilawan Sultan Iskandar Muda adalah raja Belanda.
Pengkaji kedua juga bangsa Belanda,yakni DR.H.K.J.Cowan dengan bukunya “De Hikajat Malem Dagang” diterbitkan tahun 1933. Cowan juga menegaskan bahwa HMD dikarang pada abad ke 17. Nampaknya, naskah yang dikaji Cowan lebih tua, sehingga “Raja Si Ujud sebagai raja  Belanda belum dijumpai di dalam naskah itu.  Tahun 2006 naskah HMD  yang dimuat dalam buku “De Hikajat Malem Dagang” telah saya salin ke huruf Latin ejaan EYD, yang sebelumnya dalam ejaan Belanda. Tetapi sampai hari ini hasil transliterasi saya itu belum diterbitkan. Penulisan  oleh H.K.J.Cowan akan buku  ini terkesan amat serius, sehingga semua isi hikayat yang dalam bahasa Aceh telah diterjemahkan ke bahasa Belanda, disamping pembahasan isinya yang panjang lebar pula. Kajian  H.K.J.Cowan inilah yang saya pakai sebagai bahan utama tulisan ini. Lantaran  saya tidak bisa bahasa Belanda, karena itu saya mintalah bantuan penterjemahannya kepada sahabat saya Drs. Agus Supriyono,MA; Dosen  Fakultas Sastra,Undip-Semarang.                     Pengkaji ketiga HMD  adalah Prof.A.Hasjmy. Beliaulah yang memperkenalkan kembali HMD secara lebih meluas.Dengan merujuk dua buku Sejarah Johor dan Sejarah Pahang karya HajI Buyung Adil yang diterbitkan di Malaysia; A.Hasjmy  berkali-kali menulis tentang HMD. Diantara karya A.Hasjmy mengenaI HMD yang telah dimuat dalam berbagai buku/makalah ialah yang dimuat dalam buku “Seulawah Antologi Sastra Aceh-Sekilas Pintas” halaman 524-541; terbitan Yayasan Nusantara tahun 1995.Berbeda dengan dua pengkaji bangsa Belanda sebelumnya. A.Hasjmy berpendapat HMD dikarang Teungku Ismail bin Ya’kub alias Teungku Chik Pante Geulima pada tahun 1309 H. Pada pentup  HMD dalam buku “De Hikajat Malem Dagang”   yang ditulis/disalin  H.K.J.Cowan memang tercantum tahun 1309 H, tetapi saya lebih yakin tahun itu adalah tahun penyalinan ulang. Sebab, menyimak gaya penulisannya, maka saat penyusunan pertama HMD lebih tua dari tahun itu. Prof.A.Hasjmy juga mangikuti pendapat Hoesein Djajadiningrat; walaupun masih dengan nada ragu, bahwa yang disebut Raja Si Ujud dalam HMD adalah Sultan Alauddin Riayat Syah III, sultan  Johor; sedangkan Raja Raden ,yaitu Raja Abdullah alias Raja Seberang atau Raja Bungsu. Dalam buku  antologi tersebut di atas A.Hasjmy menulis begini :“Mungkin sekali yang dimaksud dengan Raja Si Ujud dan Raja Raden dalam Hikayat Malem Dagang adalah Sultan Alauddin Riayat Syah  III dan Raja Abdullah” Mengenai asal nama Raja Si Ujud, A.Hasjmy pada antologi yang sama juga menulis:”
Dalam sejarah Aceh, beliaulah yang dimaksud dengan “Raja Si Ujud“, mungkin sekali berasal dari “Raja Selayut“… karena pernah tinggal di Selayut.  Menurut saya, nama Raja Si Ujud , Raja Raden dan Putroe Beureuhut-isteri Si Ujud adalam nama-nama khayalan sipengarang HMD. Dalam bahasa Arab, “Wujud” artinya ada. Karena “raja” Portugis di Malaka tidak dikenal lagi, maka disebut saja “Raja itu memang ada alias Raja Si Ujud”. Begitu pula dengan Raja Raden. Akibat nama abang Raja Si Ujud tidak diketahui yang sebenarnya, maka digantikan saja dengan Raja Raden, suatu gelar kehromatan karena Raja Raden memihak Aceh, yakni gelar seorang bangsawan.  Sementara nama Putroe Beurehut, malah diberi nama yang menjelekkan. Beureuhut adalah lobang neraka di dunia. Mon Beureuhut(sumur beruhut) , menurut kitab Tambeh/nadham Aceh terdapat di wilayah Syam/. Irak.
Isi ringkas Hikayat Malem Dagang adalah sebagai berikut :
Seorang raja yang bernama Raja Raden alias Raja Meulaka  alias Raja Seberang alias Raja Bungsu bersama dengan isterinya  Puteri Pahang datang ke Aceh untuk memeluk agama Islam. Selanjutnya, diceritakan Raja Raden memberikan isterinya Puteri Pahang kepada Sultan Iskandar Muda sebagai hadiah. Sebaliknya, Sultan Iskandar Muda memberikan adiknya buat isteri Raja Raden. Tidak berapa lama kemudian, datang pula Raja Si Ujud alias Raja Johor alias Raja Banang alias Raja Guha alias Raja Meulaka ke Aceh. Ia adalah adik kandung Raja Raden.  Sultan Iskandar Muda membuat pesta besar-besaran menyambut tamu agungnya itu. Sebuah istana khusus dibuatkan di Ladong-Krueng Raya bagi Raja Si Ujud. Tetapi tamu itu ternyata curang. Raja Si Ujud méngajak  abangnya pulang ke Meulaka serta mengambil  kembali Puteri Pahang dan menceraikan isterinya, yang adik Sultan Iskandar Muda itu. Karena rencana jahatnya tidak direstui abangnya Raja Raden, maka ia melakukan keonaran di Aceh. Bersama para pengikutnya, Raja Siujud melakukan perampokan beberapa kampung di pantai, membakar Ladong dan Krueng Raya serta menawan puluhan nelayan. Setelah melampiaskan berbagai penyiksaan – seperti mengail orang di kelopak mata dan kerongkongan -; akhirnya berlayarlah Raja Si Ujud pulang ke negerinya.
Tetapi Raja Raden tetap percaya/setia kepada Sultan Iskandar Muda  dan ekspedisi untuk menghadapi Si Ujud dipersiapkan. Armadanya menyusuri sepanjang pantai utara dan timur Aceh, dimana-mana disiapkan bala bantuan, untuk akhirnya menyeberang ke Semenanjung Malaka. Sementara itu, dalam perjalanan terjadi pemilihan seorang yang bernama Malem Dagang menjadi Panglima Perang. Sesudah merebut Asahan dan mengunjungi Pahang, Sultan dengan sebagian orang (prajurit) Aceh berangkat ke Johor Lama, dan sementara itu dari sana si Ujud telah berangkat ke Johor Bali. Di Johor Lama tanpa menemui adanya perlawanan sedikitpun, dilakukan konsolidasi kekuatan dalam rangka menunggu kedatangan musuh, akan tetapi ternyata musuh tidak muncul. Malem Dagang dan armadanya tetap berada di laut sampai ia bertemu dengan armada musuh yang besar di Laut Banang, dimana ia melakukan perlawanan (pertempuran). Saat itu Sultan Iskandar Muda di Johor, 7 hari perjalanan kapal, dipanggil untuk  ambil bagian dalam pertempuran. Dalam pertempuran gugurlah panglima musuh,yaitu , ayah dari isteri Si Ujud, sehingga musuh melarikan diri. Si Ujud sendiri pada waktu itu masih di Guha. Ia memutuskan mundur dari pertempuran, tetapi  isterinya  mengobarkan semangat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.. Namun  ia tidak memperoleh kemenangan, bahkan ia ditangkap dan ditawan. Dalam perjalanan pulang ke Aceh telah dilakukan berbagai percobaan  untuk membunuh Raja Si Ujud yang menolak untuk memeluk agama Islam. Pertama-tama, percobaan pembunuhan itu dilakukan di laut kemudian di Aceh, tetapi gagal; karena ia memiliki  kekuatan magisnya yang hebat (sakti). Akhirnya,  atas petunjuknya sendiri ia dituangi kedalam mulutnya timah hitam cair (bara timah hitam yang meleleh), maka Raja Si Ujud pun  mati.  Diantara para pelaku kisah yang penting di pihak Aceh adalah Sultan Iskanda Muda,Puteri Pahang(Putroe Phang), Raja Raden, Malem Dagang, Ya Madinah/Ja Pakeh dan  Panglima Pidie. Sementara di pihak musuh, yakni Raja Si Ujud, Putroe Beureuhut, dan Mudalikah-Putroe Halawiyah  yang juga mertua Si Ujud.
Menurut data-data sejarah,  bahwa Raja Sebrang kawin dengan saudara perempuan Sultan  Iskandar Muda. Sejak itu, ia diharapkan menjadi teman  dalam membantu Aceh melawan Portugis.  Akan tetapi  ketika Sultan ini pulang kembali ke Johor  pada tahun 1614, ia telah dengan giat melakukan perundingan lagi  dengan Portugis. Tindakan yang kedua kalinya itu tidak memuaskan  orang-orang Aceh, sebab itulah  pada ekspedisi Aceh  yang kedua ia ditangkap kembali, lalu dibawa ke Aceh dan di bunuh di sana. .
Adalah penting untuk menyelidiki ekspedisi kedua ini secara lebih cermat. Armada Aceh
mendapati Johor telah ditinggalkan penduduknya. Dalam perjalanan pulang bertemu dengan armada Portugis di bawah pimpinan Miranda dan Mendoca, yang datang dari Malaka untuk membantu Johor tetapi dipukul mundur. Pertempuran ini diidentifikasi oleh Hoesein Djajadiningrat sebagai pertempuran yang disebutkan dalam Boetanus-Salatin, yaitu pertempuran  di Baning . Pada kesempatan itu  Sultan ditangkap kembali dan dibawa ke Aceh.
Jika data-data ini dibandingkan dengan cerita dari Hikayat  Malem Dagang, ternyata  ditemukan kesamaan. Dalam syair hikayat  disebutkan kedatangan dua raja bersaudara ke Aceh, yang antara lain bergelar sebagai raja-raja Johor. Menurut data-data historis demikian juga halnya. Bahwa kedatangan mereka ke  Aceh  tidak sepenuhnya secara sukarela. Dalam kedua versi itu juga disebutkan bahwa salah satu dari mereka kawin dengan adik perempuan  Sultan Iskandar Muda.dan satunya lagi pulang kembali ke Johor ,yang selanjutnya setelah banyak melakukan tindakan yang kurang berkenaan bagi orang-orang Aceh, ia ditangkap oleh ekspedisi dan dibunuh.                                                                                                                           Hal-hal yang khusus dari ekspedisi ini juga menunjukkan adanya kesamaan: dalam kedua peristiwa itu armada menemukan Sultan melarikan diri, dan oleh karena itu kota Johor diduduki. Dalam pertempuran berikutnya di Baning melawan Portugis dalam perjalanan pulang, ditemukan kembali dalam syair sebagai perang laut di “Laot Banang”. Bahkan namanya juga sama, pada mana harus dinyatakan bahwa “Baning” dan “Banang” sama-sama jenis hurufnya bila ditulis dalam karakter bahasa Arab.
Alasan kedatangan dua bersaudara di Aceh tidak disebutkan dalam HMD. Penulis syair hikayat   hanya  mengatakan bahwa Raja Raden pada suatu hari  datang dan diikuti oleh saudara laki-lakinya yaitu Si Ujud. Hanya beberapa bait yang memberikan episode ini, yang menceritakan bahwa Raja Raden datang untuk memeluk agama Islam. Tidak ada penjelasan lebih jauh bahwa ia berangkat ke Aceh dengan keperluan khusus. Bisa diperkirakan maksud kedatangannya yang sesungguhnya dirahasiakan ,sehubungan dengan perkawinannya dengan keluarga Sultan Aceh. Kedua raja itu dalam kenyataan sesungguhnya bukan  kafir, tetapi hanya melakukan  persekutuan antara Johor dengan Portugis.
Demikian juga penggambaran orang Aceh tidak  benar, antara syair dengan kenyataan adalah berbeda. Pada satu sisi perundingan-perundingan berlangsung di Aceh sebelum kembali ke Johor,sedangkan  pada sisi yang lain perundingan-perundingan terjadi di Johor sesudah kepulangan ke Johor itu. Akan tetapi tidak boleh diabaikan bahwa dalam syair kepahlawanan yang setengah lagendaris itu; kenyataan-kenyataan  historis telah kehilangan bentuk yang seharusnya. Kesesuaian secara keseluruhan atau bahkan pada bagian yang khusus/ penting saja tidak diperjelaskan..
Namun demikian,  nampaknya sangat bisa diterima bahwa inti dari HMD adalah pengiriman ekspedisi pada tahun 1615 ke Johor, dan itu adalah yang kedua.  Sebab Sultan yang di kembalikan ke Johor telah bersekongkol dengan Portugis.
Bagian awal syair adalah hasil dari ekspedisi pertama, yang berlangsung pada tahun 1613, yaitu kedatangan kedua raja yang di tawan itu di Aceh, tetapi dengan perbedaan, bahwa kedatangan ini dalam syair digambarkan sebagai kedatangan sukarela, dan diperkirakan bahwa tokoh Raja Raden dan Si Ujud menggantikan nama kedua raja tersebut.
Akan tetapi masih ada persoalan mengenai kedua raja itu, yaitu siapakah sesungguhnya yang Raja Raden dan yang Si Ujud itu. Jika mengikuti pendapat Hoesein Djajadiningrat; maka Sultan  AlaidinRiayat Syah III sendirilah sebagai Raja Si Ujud,,yang tidak lama sesudah penangkapannya diperbolehkan kembali ke negerinya, sementara Raja Abdullah (Raja  Sebrang) yang kawin dengan adik perempuan Sultan Iskandar Muda dan tetap tinggal di Aceh adalah Raja Raden.
Raja Sebrang dan Si Ujud = Alaidin. Akan tetapi hal itu bertentangan dengan pendapat Roeffaer, bahwa Raja Sebrang dikirim kembali /dipulangkan ke Johor sebagai pengganti saudara laki-lakinya, yang berarti itu adalah Raja Raden.
Alaidin dan Si Ujud = Raja Sebrang. Namun harus di sadari, meskipun suatu Epos itu berdasarkan pada peristiwa sejarah, harus diakui adanya karakter yang bersifat sangat lagendaris. Data-data darinya memang bisa diambil untuk mengisi kekosongan-kekosongan data dalam pengetahuan sejarah- yang untuk itu orang harus sangat berhati-hati.  Demikian juga hal itu ditemukan argumentasi yang mengkritisi HMD, yaitu pendapat Hoesein dan Rouffaer yang sebelumnya.
Pertama adalah adanya saling hubungan famili: Alaidin adalah kakak laki-laki Raja Sebrang . Kemudian.  salah satu nama dari Raja Sebrang berbunyi : “Raja Bungsu” yang berarti “termuda”. Demikian juga persaudaraan itu hanya bersifat pengakuan saja, sama yang seperti tersebut dalam Sejarah Melayu. Diperkirakan juga bahwa penangkapan hubungan persaudaraan adik dan kakak ini karena yang terakhir itu adalah yang sesungguhnya  sebagai raja yang memerintah. Hal ini banyak sekali disebutkan  dalam Sejarah Melayu. Dalam HMD Si Ujud memanggil Raja Raden dengan sebutan “dalem” yaitu berarti abang atau “saudara tua” dan sebaliknya Raja Raden memanggil Si Ujud dengan sebutan “adoe” yang berarti adik atau  “saudara muda”.
Akhirnya terdapat karakter ( tabiat ) khas dari kedua raja itu; sejauh yang diperoleh
dari berita-berita. Secara umum berita-berita itu menjelaskan, bahwa Alaidin adalah pengantuk dan raja yang tidak punya watak, yang mengabaikan pemerintahannya dan
menyerahkannya kepada saudara laki-lakinya Raja Sebrang, yang mempunyai sifat sebaliknya yaitu orang yang tegas dan terpercaya. Adalah aneh bahwa Alaidin yang pengantuk ini, yang di kembalikan oleh Sultan Aceh dan dibawah pengawasan orang Aceh, tiba-tiba melakukan gerakan melawan Aceh, sementara ia juga harus kehilangan dukungan dari saudaranya. Karakter yang demikian itu lebih cocok bagi Raja Raden/ Raja Sebrang.
Tetapi bertentangan dengan yang tersebut di atas masih terdapat beberapa kesulitan untuk dipahami.
Demikianlah, menurut HMD bahwa Raja Raden (dalam hal ini adalah Alaidin) Tetapi menurut data-data historis adalah Raja Sebrang (dalam hal ini adalah Raja Si Ujud) menikah dengan saudara perempuan Iskandar Muda. Dalam hal ini masih bisa dipertanyakan. Berdasarkan berita-berita Eropa  hanya membicarakan  mengenai penangkapan Raja Sebrang pada tahun 1613, dan tidak ada keterangan dari berita-berita itu mengenai adanya perkawinan. Oleh karena itu harus diterima,  bahwa kedua saudara itu memang ditawan dan dibawa ke Aceh. Tetapi lebih mungkin, bahwa bukan Raja Sebrang yang dinikahkan, melainkan  Alaidin. Namun demikian argumen ini juga belum bisa dikatakan kuat.
.
Setelah menyimak beragam pendapat tentang persoalan di atas, maka H.K.J. Cowan berpendapat sebagai berikut :
“Berdasarkan keraguan-keraguan yang telah disebutkan di atas, maka apakah saya(H.K.J. Cowan) akan mengikuti salah satu pendapat tersebut di atas, yaitu sehubungan dengan persoalan identifikasi bahwa Raja Raden adalah Alaidin dan Si Ujud adalah Raja Sebrang atau sebaliknya. Ternyata keraguan itu menjadi lebih besar;  setelah saya mengetahui isi hikayat (tulisan tangan) yang ada pada saya.
Menurut hikayat ini Si Ujud tidak dibunuh di Aceh, tetapi ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan via Banang ia berhasil tiba di Guha, dan di sana ia diterima dengan suka cita oleh isteri-isterinya. Tidak lama setelah itu ia meninggal dunia.  Setelah dimakamkan, isterinya-isterinya mengirim orang ke Aceh untuk memohon kepada Raja Raden untuk menjadi penggantinya. Sultan Iskandar Muda menyetujui permintaan itu dan menyuruh saudara perempuannya (Putroe Hijo) ikut pergi dengan Raja Raden ke Johor. Tetapi ia ditinggalkan di Johor lama, sedangkan Raja Raden melanjutkan perjalanan melalui Johor Bali ke Guha. Kelima isteri Si Ujud memeluk Islam.
Sampai disini ada kekosongan (hilang) sebanyak 2.5 halaman dalam hikayat sehingga kelanjutan cerita menjadi sangat tidak jelas. Ada dibicarakan mengenai seorang “Teungku” yang dalam petualangannya sampai di Johor lama, dan disitu ia menjadi sangat terkenal. Pada suatu hari ia di panggil oleh “Malem/Ulama setempat” untuk menjalankan ibadah shalat jum’at di mesjid, tetapi nampaknya ia tidak mau, sebab menurutnya bukan hari Jum’at (disini ada kekosongan halaman lagi). Selanjutnya cerita dimulai lagi dengan percakapan antara “Teungku” dengan Putroe Hijo, yang ternyata keduanya berjanji untuk pergi secara diam-diam.
Pada suatu malam ia disuruh menenggelamkan kapal di sungai satu persatu dengan menggunakan bor, sementara ia sendiri berlayar ke pulau Weh. Sampai disana “Teungku” memberi tahu bahwa ia ingin menjual barang berharga (mahal), yang oleh karena itu Sultan Iskandar Muda berangkat ke kapal  Teungku itu. Ketika ia melihat saudara perempuannya, keduanya jatuh pingsan. Selanjutnya keduanya dibawa masuk sebagai satu-satunya hadiah “Teungku”, yang  ingin menerima pembebasan anak-anaknya, dan sampai disini tulisan tangan (Hikayat) tiba-tiba berakhir.
Apa yang harus kita lihat dalam episode ini? Mengenai adanya penambahan fantastis oleh penyalin hikayat, memang hal semacam itu sering terjadi. Atau apakah kita dalam hal ini bisa mengetahui gema (informasi) yang mengakibatkan dilaksanakannya ekspedisi Aceh ke tiga terhadap Sultan Johor pada tahun 1623, dimana raja yang tersebut terakhir itu dikejar sampai Lingga dan Tambela, pada tahun itu juga akhirnya ia meniggal?        Sesungguhnya mengenai hal itu kita bisa menemukan dalam berita-berita sejarah mengenai pemulangan kembali ke Aceh saudara perempuan Iskandar Muda yang telah menjadi isteri Raja Johor oleh Raja Johor sendiri.
Selanjutnya episode ini bisa sesuai dengan data historis, bahwa saudara laki-laki yang lain telah menggantikannya, dan pergantian itu terjadi sesudah berhasilnya ekspedisi tahun 1615, yaitu sesudah meninggalnya saudara laki-lakinya yang lain. Jika kesesuaian ini bukan merupakan kebetulan, mengingat menurut data historis Abdullah adalah yang menggantikannya, maka Raja Raden dalam hikayat yang kami punya adalah sama dengan Radja Abdullah dan yang berarti juga  bukan Raja Si Ujud. Dengan demikian juga benarlah pendapat Hoesein Djajaningrat, bahwa Alaidin sendiri adalah yang di pulangkan ke Johor, sementara pendapat Roeffaer tidak benar“.

Delapan Wasiat Sulthan Iskandar Muda

   Aceh pernah dijuluki "Serambi Mekkah", karena masyarakatnya religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).




Denys Lombat, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman Iskandar Muda sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana.

Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan Snouck Hurgronje, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat Meukuta Alam boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).

Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.Smith, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in Modern History (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.

Menurut catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;

Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

Kedua, janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.

Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.

Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

Kelima, Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.

Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.

Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.

Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.

Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.

ciptaan panton sendiri.

malam sepot klam hana meucahya.
buleun ka gadoh meusalop awan.
bintang hana trang ujeun meulinang.
wate loen kenang cukop meurana.
meribee janji kalheuh ta surah .
bak bineh pante jalan krueng raya.
tp mandum nyan ka sirna gadoh.
lage teu hapos gelumbang teuka.
ie mata loen rot wate teu ingat .
kenangan mangat wate ngon dinda.
pajan adinda tanyo meusapat.
untuk ta ikat  pita asmara .
beu meusatu geutanyo dua...

Teuku Umar (1854 – 1899)


1. Riwayat Hidup
Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.
Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
2. Pemikiran
Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.
3. Karya
Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.
4. Penghargaan
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.

Sultan Iskandar Muda (1593-1636)


1. Riwayat Hidup
Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa kisah tentang Sultan Iskandar Muda hanya dongeng belaka. Sayangnya, Horgronje hanya mendasari penelitiannya pada karya-karya klasik Melayu, seperti Bustan al-Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh. Sejarah Aceh rupanya dipahami Horgronje secara keliru. Sebagai perbandingan, kita bisa membaca penelitian Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang di samping menggunakan sumber-sumber Melayu setempat (Bustan al-Salatin, Hikayat aceh, dan Adat Aceh), juga menggunakan sumber-sumber Eropa dan Tionghoa. Di samping kedua sumber itu, Lombard juga menggunakan kesaksian para musafir Eropa yang sempat tinggal di Aceh pada saat itu, seperti Frederik de Houtman, John Davis, dan terutama Augustin de Beaulieu. Penelitian Lombard bisa dikatakan mampu menyajikan fakta sejarah sesuai aslinya, dan itu berarti ia justru membalikkan tesis Horgronje. Lombard membuktikan bahwa masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda merupakan masa kejayaan yang sangat gemilang.
Sultan Iskandar Muda merupakan raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di Aceh pada tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alamo rang aceh menyebut PO TEUMEURHOM karena menurut orang tua-tua dulu dia adalahseorang pemuda sakti yang jago bela diri yang memenangkan pertarungan melalui sayembara untuk jadi Raja , po = asal kata dari pertanyaan masyarakat waktu itu waktu menyaksikan pertarungan..anak siapa..? atau seupo = siapa..?? TEUMEREUHOM = asal kata dari HOM = entah/ gak tau atau tidak dikenal... karena waktu itu Iskandar muda dating dgn menunggangi gajah putih, Dari pihak ibu, Sultan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makota Alam. Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan. Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai Sultan Asahan 1).
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar awal April 1607. Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang kuat, besar, dan tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam lima kerajaan terbesar di dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625. Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda menerapakan sistem baitulmal. Ia juga pernah melakukan reformasi perdagangan dengan kebijakan menaikkan cukai eksport untuk memperbaiki nasib rakyatnya. Pada masanya, sempat dibangun juga saluran dari sungai menuju laut yang panjangnya mencapai sebelas kilometer. Pembangunan saluran tersebut dimaksudkan untuk pengairan sawah-sawah penduduk, termasuk juga sebagai pasokan air bagi kehidupan masyarakat dalam kerajaan.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth 1. Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth 1 memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda dengan kalimat: “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Sultan kemudian menjawabnya dengan kalimat berikut: “I am the mighty ruler of the religions below the wind, who holds way over the land of Aceh and over the land of Sumatera and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset (Hambalah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam)”.
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan. Hubungan tersebut diibaratkan: Adat bak Peutu Mereuhum, syarak bak Syiah di Kuala (adat di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kehidupan beragama di bawah keputusan Tuan Syiah Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43 tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
2. Pemikiran
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar Muda menunjukkan sikap anti-kolonialismenya. Ia bahkan sangat tegas terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu. Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai contoh, kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, maski semuanya gagal karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam empat bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan kebudayaan masyarakat Aceh. Pertama, bidang hukum yang diserahkan kepada syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. Kedua, bidang adat-istiadat yang diserahkan kepada kebijaksanaan sultan dan penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. Ketiga, bidang resam yang merupakan urusan panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. Keempat, bidang qanun yang merupakan kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas dalam menerapkan syariat Islam. Ia bahkan pernah melakukan rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah Pupok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira. Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nagroe Aceh Darussalam menerapkan syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar mengamalkan delapan perkara, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, ia berwasiat kepada para wazir, hulubalang, pegawai, dan rakyat agar selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji yang telah diucapkan. Kedua, jangan sampai para raja menghina alim ulama dan ahli bijaksana. Ketiga, jangan sampai para raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh. Keempat, para raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan musuh setiap saat. Kelima, hendaknya para raja mempunyai sifat pemurah (turun tangan). Para raja dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya. Keenam, hendaknya para raja menjalankan hukum berdasarkan al-Qur‘an dan sunnah Rasul. Di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang adalah qiyas dan ijma‘, baru kemudian berpegangan pada hukum kerajaan, adat, resam, dan qanun. Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan kepentingan agama, rakyat, dan kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam. Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan Iskandar tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan modern yang sudah demokratis.
3. Karya
Surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James 1 pada tahun 1615 merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip) tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu termasuk surat terbesar sepanjang sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada dunia internasional betapa pentingnya Kerajaan Aceh sebagai kekuatan utama di dunia.
Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di samping kebijakan reformatifnya, juga ditandai dengan luasnya cakupan kekuasaannya. Pada masanya, wilayah Kerajaan Aceh telah mencapai pesisir barat Minangkabau dan Perak.

Minggu, 11 Desember 2011

bahasa aceh..

  • Peue haba? = Apa kabar?

  • Haba gèt = Kabar baik.

  • Lôn piké geutanyoë han meureumpök lé = Saya kira kita takkan bersua lagi.

  • Lôn jép ië u muda = Saya minum air kelapa muda.

  • Agam ngön inöng = pria dan wanita

  • Lôn = saya

  • Kah, droë , Gata = kamu, anda

  • H'an = tidak

  • Na = ada

  • Pajôh = makan

  • Jih, dijih, gobnyan = dia, beliau 

  • Ceudah that gobnyan. = Tampan sekali dia.    

  • Lôn meu'en bhan bak blang thô. = Saya bermain bola di sawah kering 


  • Daripada                      Nibak
    Seuréng                       Kayém
    Belajar                         Meurunoë
    Rajin                            Jeumot
    Lurus                           Teupat
    Belok                            Wét
    Kental                          Ghuën
    Senin                           Seunanyan
    Begadang                    Meujaga


  • cara ajak Shalat bahasa aceh


  • Jéh, ka jibang.
    Sudah azan tu.


    Hay, ka suboh.
    Oi, sudah subuh.

    Dalè ka’éh! Le teungeut ngon jaga!
    Asik tidur kau! Banyak tidur daripada bangun!


    Bôh jak taseumayang/tasalat lèë*.
    Yuk kita shalat dulu.


    Tajak u meuseujid jak.
    Ke mesjid yuk.

  •     

  •                                                                          

  •  cara perkenalan bahasa aceh   



    Assalaamu ’alaykum.
    Wa ‘alaykum salaam.
    Nan droëneuh soë?
    Nama Anda siapa?


    Nan lôn Agam. Nan droëneuh?
    Nama saya Agam. Nama Anda?


    Nan lôn Ahmad.
    Nama saya Ahmad.


    Pat neuduëk? / Pat neubeudöh? / Pat tinggay?
    Di mana Anda tinggal?
  • Nama Tokoh asal Aceh...

    Lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh.

    Makanan Khas Aceh...

      Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.

    Nama Tarian aceh ..

    Tarian Suku Aceh

    Denah provinsi Aceh..

    —  Provinsi  —
    Lambang Aceh
    Lambang
    Motto: "Pancacita" (dari bahasa Sansekerta yang artinya "Lima cita-cita")
    Peta lokasi Aceh
    Negara  Indonesia
    Hari jadi 7 Desember 1959 (hari jadi)
    Dasar hukum UU RI No. 24/1956
    UU RI No. 44/1999
    UU RI No. 18/2001
    UU RI No. 11/2006 (Pemerintahan Aceh)
    Ibu kota Banda Aceh (dahulu Koetaradja)
    Koordinat 1º 40' - 6º 30' LU
    94º 40' - 98º 30'
    BT
    Pemerintahan
     - Gubernur drh. Irwandi Yusuf, M.Sc..
     - DAU Rp. 716.646.172.000,- (2011)[1]
    Luas
     - Total 58.375,63 km2
    Populasi (2010)[2]
     - Total 4.494.410
     Kepadatan 77/km²
    Demografi
     - Suku bangsa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.[3][4]
     - Agama Islam (99,85%), Kristen (0,15%)
     - Bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon, Nias dan Indonesia.[5][6]
    Zona waktu WIB
    Kabupaten 18[7]
    Kota 5[8]
    Kecamatan 276[9]
    Desa/kelurahan 6455[10]
    Lagu daerah Bungong Jeumpa