ORANG Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter “Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda, dengan menyebut dirinya, “Ulôntuan” yang berarti, “Aku adalah Tuan”.
Penerapan sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut, “Wan”, yang akar katanya berasal dari “Ulôntuan.” Artinya, orang Aceh memandang dirinya tetap sebagai “Tuan” dihadapan siapapun juga. Namun, Karakteristik ini secara tidak langsung terbawa-bawa ke dalam strata kehidupan politik.
Di mata Snouck Hurgronje, “Superiority complex” ini disifatkannya sebagai “penyakit jiwa”, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.
Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an” Aceh menjadi “babu” atau “lamit”, ada cara yang simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai “barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar