Kamis, 15 Desember 2011

Sejarah tentang Aceh Tenggara....

    Paru-paru dunia ada di Kabupaten Aceh Tenggara. Pernyataan ini tidak berlebihan, karena Aceh Tenggara menjadi salah satu pemilik kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan seluas 1.094.692 hektar ini masuk dalam wilayah beberapa kabupaten, yaitu Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Langkat (Provinsi Sumatera Utara).
Taman nasional memiliki keistimewaan keanekaragaman flora dan fauna. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora termasuk tanaman langka Raflesia atjehensis dan Johanesteinimania altifrons (pohon payung raksasa) serta Rizanthes zippelnii yang merupakan bunga terbesar, langka, dan dilindungi, dengan diameter 1,5 meter. Ada sekitar 130 jenis mamalia dengan hampir tiga perempatnya termasuk jenis langka.
Untuk menjaga kelestarian flora dan fauna kawasan taman nasional ini, Masyarakat Uni Eropa ikut mendukung pelestariannya. Mereka berkepentingan. Ibarat paru-paru yang sehat, demikian pula kawasan taman nasional dapat menyehatkan dunia.
Sejak tanggal 10 April 2002 kabupaten ini dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002. Peluang menggali potensi pariwisata dari taman nasional lalu mesti dibagi di antara keduanya. Aceh Tenggara sebagai kabupaten induk tidak terlalu kehilangan peluang untuk menggali potensi taman nasional ini.
Kutacane yang menjadi ibu kota kabupaten menjadi salah satu pintu masuk kawasan taman nasional. Dengan hanya menempuh perjalanan setengah jam, akan dapat ditemui Ketambe, stasiun penelitian flora dan fauna, di pinggir Sungai Alas. Taman Wisata Lawe Gurah memiliki panorama alam, sumber air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuhan seperti orang utan, kupu-kupu, dan bunga rafflesia.
Selain itu, penggemar olahraga arung jeram dapat menjajal keganasan Sungai Alas yang mengalir menuju Kabupaten Aceh Selatan. Sambil mengarungi Sungai Alas ini, penggemar rafting akan disuguhi kesegaran air sungai, panorama keindahan alam hutan tropis Aceh, dan perkampungan rakyat tradisional.
Namun, bukan hanya pariwisata yang bisa dijadikan andalan Kabupaten Aceh Teng-gara. Lapangan usaha pertanian pun masih menjadi andalan. Tahun 2000, sebelum pemekaran terjadi, Kabupaten Aceh Tenggara mempunyai total kegiatan ekonomi sekitar setengah trilyun rupiah. Sepertiga lebih disumbang oleh pertanian tanaman pangan.
Kondisi geografis Kabupaten Aceh Tenggara landai. Karena itu, pertanian tanaman pangan cocok dikembangkan. Kenya-taannya setelah pemekaran, 60 persen lahan padi sawah tetap berada di Aceh Tenggara.
Sebelum pemekaran, Kabupaten Aceh Tenggara dikenal sebagai penghasil tembakau. Sampaisampai dalam logo kabupaten dicantumkan gambar daun tembakau. Namun, sa-yang, kebanggaan sebagai penghasil tembakau kini mesti direlakan untuk disandang Ka-bupaten Gayo Lues. Kecamat-an penghasil tembakau seperti Terangon, Rikit Gaib, Blang-kejeren kini masuk wilayah Kabupaten Gayo Lues.
Masih ada produk perkebunan lain yang dapat diandalkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2000, daerah ini memiliki produk unggulan seperti kopi, kelapa sawit, gambir, cengkeh, pala, cokelat, dan lada. Walaupun masih kalah jauh oleh produksi kopi Aceh Tengah, daerah ini menyimpan potensi untuk pengembangan kopi. Pada tahun 2000 produksi kopi, setelah dikurangi wilayah pemekaran, tercatat 2.600 ton, dengan luas areal 3.011 hektar. Tanaman kopi sebagian besar berada di Kecamatan Badar, Lawe Sigala-Gala, dan Lawe Alas. Tujuh puluh persen lahan kopi ada di kabupaten induk.
Sebelum pemekaran, produksi kemiri Aceh Tenggara yang terbesar di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) adalah 13.328 ton dengan luas areal 15.322 hektar. Setelah pemekaran, kekayaan ini harus dibagi dengan Kabupaten Gayo Lues. Hampir 50 persen lebih luas areal perkebunan kemiri kini menjadi milik Kabupaten Gayo Lues. Produksi karet rakyat masih terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tenggara. Sebaran kawasan perkebunan karet ini sebagian besar di Kecamatan Badar dan Darul Hasanah.
Kondisi topografi Aceh Tenggara yang bergunung-gunung menjadi salah satu penghalang kelancaran transportasi dan komunikasi. Lokasi yang tidak terjangkau oleh kendaraan umum bisa ditempuh dengan berkuda. Biasanya bila ingin pergi dari Banda Aceh ke Kutacane, orang lebih suka lewat Kota Medan-daripada lewat Aceh Tengah atau Gayo Lues yang kondisi medannya bergunung dan penuh hutan. Sarana komunikasi seperti telepon pun masih sering terganggu sehingga komunikasi ke daerah ini mengalami kesulitan. . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar